Buku Cinta Bagai Anggur : Pendidikan Hati
Dikutip
dari sebagian isi Bab III buku “Cinta Bagai Anggur”, dengan seijin penerbit.
Judul: “Cinta Bagai Anggur: Tuangan Hikmah Dari Seorang Guru Sufi di
Amerika.”
Karya: Syaikh Muzaffer Ozak, dikompilasikan oleh Syaikh Ragip Frager
Alih bahasa: Nadia Dwi Insani, Herry Mardian, Herman Soetomo
Penerbit: Pustaka Prabajati
Tetapi apakah sebenarnya “diuji” itu? Seorang
guru menguji para siswanya untuk mengetahui tingkat kemampuan mereka,
mengetahui tingkat pemahaman mereka. Si guru tidak tahu sedalam apa para
siswanya telah belajar. Tapi bukankah Allah mengetahui?
SETIAP nabi mempunyai tugas spesifik. Peran Nabi Isa a.s. adalah untuk
menampilkan tiadanya kepemilikan dan kepedulian akan keduniawian.
Ucapan maupun perbuatan para nabi dan para kekasih Allah tidak berasal dari
diri mereka sendiri. Mereka sudah tidak lagi memiliki kehendak diri. Mereka
hanya mengekspresikan kehendak Allah. Bahkan para wali, yang lebih rendah dari
para Nabi pun, juga mencapai jenjang tersebut. Mereka melihat dengan mata-Nya,
mendengar dengan telinga-Nya, dan berkata-kata dengan lisan-Nya. Mereka
melangkah dengan kaki-Nya dan menggenggam dengan tangan-Nya.
Seperti itu pula, Nabi Isa pun tidak memiliki kehendak
diri. Beliau adalah ekspresi dari kehendak Tuhan atas suatu fungsi maupun
tujuan yang spesifik. Ini pun berlaku bahkan bagi orang biasa—yah, mungkin
orang biasa yang “biasa-biasa”-nya tidak keterlaluan—yaitu orang-orang yang
mencintai Allah dan dicintai oleh Allah.
Pada diri Nabi Sulaiman a.s., kehendak Tuhan
termanifestasikan dalam bentuk kekayaan dan kekuasaan. Nabi Isa a.s. adalah
sultan bagi qalb dan jiwa, sementara Nabi Sulaiman a.s. mengombinasikan
penguasaan atas keduniawian dan keruhanian.
Kalau di dunia ini engkau adalah seorang sultan, manusia
tidak akan puas atau sepakat dengan kepemimpinanmu. Ini sangat sulit. Nabi Musa
a.s pada suatu ketika pernah mengeluh kepada Allah, “Aku berusaha melaksanakan
kehendak-Mu, tetapi semua orang kini justru sedang menentang aku.” Allah pun
berfirman, “Hai Musa, engkau hanyalah darah dan daging. Padahal Aku, Akulah
pencipta mereka. Aku yang memenuhi setiap kebutuhan mereka. Jangankan kepada
engkau, bahkan terhadap Aku pun mereka selalu menentang!”
Itulah mengapa Allah tetap tersembunyi, setidaknya dari
sebagian besar kita (beberapa dari kita manusia, bahkan hingga hari ini, bisa
“melihat” Dia!). Bisakah engkau bayangkan jika Allah bisa dilihat begitu saja,
seperti para nabi? Kita akan berlari menangis kepada-Nya, “Tolonglah perhatikan,
aku belum punya anak satu pun. Aku tidak punya uang cukup. Aku kehilangan
pekerjaan.” Yang lainnya lagi berkata, “Aku tidak puas dengan keadilan-Mu!”
Itulah mengapa Allah tersembunyi, demi ketenangan dan kedamaian. Paling tidak,
Allah tersembunyi dari mereka yang suka mengeluhkan “pelayanan”-Nya.
Nah, kembali pada kisah kita sebelumnya, perhatikanlah:
kehendak manusia sangatlah lemah. Jangan membohongi dirimu sendiri dengan
mengatakan bahwa engkau yang mencari dan engkau yang akan menemukan. Ibrahim bin
Adham dipanggil oleh Al-Haqq. Namun dia harus terlebih dulu diajari oleh orang
yang membajak lahan di atap istananya, dan oleh seekor burung gagak yang
menyuapi lelaki yang terikat. Tapi jangan lupa, kau harus memerhatikan
tanda-tanda. Melihat saja tidak cukup, engkau harus memerhatikan. Mendengar
saja tidak cukup, engkau harus memahami.
Akhirnya, suatu hari Ibrahim bin Adham pergi meninggalkan
istananya dan menuju ke padang penggembalaan. Ia bertemu dengan seorang gembala
berpakaian kumal yang bertambalan di sana-sini. Walaupun di luar ia
compang-camping, namun gembala itu telah menemukan Tuhan dalam kesendiriannya
di padang rumput. Di dalamnya, ia telah menjadi seorang yang sangat kaya dan
tampan. Sedangkan Sultan Ibrahim bin Adham, walaupun ia mengenakan busana
sutra, di dalamnya compang-camping karena ia belum menemukan Al-Haqq. Ibrahim
bin Adham kemudian meminta si gembala untuk saling bertukar pakaian, yang lalu
menerima tawarannya.
Sang Sultan pun akhirnya berbalik dari penghadapannya
kepada keduniawian. Kerajaannya, harta dan kekuasaannya, pakaian-pakaian dan
kedudukannya adalah hijab-hijab penghalang antara dia dan Tuhannya. Ia robek
semua itu dan mencampakkannya. Tapi tentu saja, ia harus memiliki semua hal itu
dulu sebelum bisa mencampakkannya.
Lalu melangkahlah ia ke arah mana pun yang dikatakan
kepadanya.
Ibrahim bin Adham dituntun kepada seorang Sultan
Kebenaran, seorang guru: seorang syaikh. Di bawah perintah gurunya, Ibrahim bin
Adham memulai jihad terbesarnya—yaitu perang melawan syahwat dan hawa nafsunya
sendiri.
Dalam pembimbingannya sebagai seorang pejalan, guru
Ibrahim bin Adham memberinya tugas untuk berkelana di dunia, supaya ia bisa
mengerti dari mana ia berasal.
Dalam latihan semacam ini, engkau seperti membaca sebuah
buku untuk pertama kalinya lalu mengerti beberapa hal. Lalu engkau membacanya
lagi, dan mengerti beberapa hal lainnya. Kemudian, engkau membacanya untuk
ketiga kalinya, dan masih juga engkau temukan beberapa hal yang lain lagi. Sang
Syaikh menyuruh Ibrahim bin Adham pergi untuk membaca buku tentang kehidupan
lampaunya sendiri, sehingga dia dapat memahaminya pada tingkat yang lebih
tinggi.
Buku teragung adalah dunia ini, kehidupan ini. Baca, baca,
dan bacalah lagi. Bagian terbanyak dari isi buku itu adalah masa lampaumu.
Sejalan dengan pembacaan ulangmu yang terus-menerus, kau akan menemukan ia
berubah, dan kau akan menemukan dirimu sendiri. Ia adalah buku yang sangat
besar, menjangkau dari bumi ini hingga ke pojok-pojok terjauh dari seluruh
langit.
Ibrahim bin Adham telah kembali ke kota Balkh pada suatu
malam yang dingin di musim salju. Dia lalui malam itu dengan melaksanakan
shalat Isya di Masjid Agung yang didirikannya semasa ia masih menjadi sultan.
Malam merupakan saat yang sangat penting bagi para
pencari. Waktu untuk shalat Isya di masjid dimulai kira-kira satu jam setelah
terbenamnya matahari, dan biasanya berlanjut sampai dua setengah jam kemudian.
Setelah menyelesaikan ibadah mereka pada Allah, sebagian orang langsung pulang
ke rumah untuk bersama-sama dengan orang-orang yang mereka cintai. Mereka
menatap mata dan menciumi wangi rambut orang-orang terkasih mereka. Itu pun
sebuah ibadah—mencintai istri dan anak-anak. Di malam hari pula, para wali
besar serta para nabi biasanya mencurahkan diri mereka sepenuhnya untuk shalat
dan beribadah kepada Allah.
Sedangkan Ibrahim bin Adham, setelah ia menyelesaikan
shalat Isya-nya, sama sekali tidak memiliki satu tempat pun untuk dituju. Dia
bergumam kepada dirinya sendiri, “Ini adalah rumah Allah, dan aku dulu
membangunnya agar senantiasa terbuka kepada semua orang. Akan kucari sebuah
sudut kecil untuk duduk, sekadar sebagai tempat tafakur dan beristirahat.”
Kemudian datanglah penjaga masjid. Kebetulan, belum lama
berselang karpet masjid itu baru saja dicuri. Si penjaga menemukan sang “Bekas
Sultan”, kini telah menjadi seorang darwis kumal, lalu berkata, “Ha! Ini dia si
pencuri karpet, sekarang sembunyi di sini mau mengambil lagi!” Ia menyambar
kaki Ibrahim bin Adham lalu menyeret kepalanya menuruni tangga masjid yang terdiri
dari seratus anak tangga. Kepala Ibrahim bin Adham pun membentur anak tangga
itu satu demi satu. Dan di sepanjang tangga menurun ke bawah, bersama setiap
rasa sakit di kepalanya karena terbentur anak tangga, dia bersyukur pada Allah.
Ketika telah sampai di anak tangga terbawah, dia katakan pada dirinya sendiri,
“Wah, sayang sekali, seharusnya dulu kusuruh buat anak tangga lebih banyak
lagi.”
Karena keberserahdiriannya pada Kehendak Ilahiah, bersama
dengan setiap penderitaan yang dirasakannya, naik pulalah tingkat kesucian nafs
-nya. Oleh karena Ibrahim bin Adham telah meninggalkan dunia, tertinggal pula
derita-derita alam dunia. Demikianlah, engkau juga harus mengalami
penderitaan-penderitaan dunia ini agar tingkat kesucian jiwamu meningkat.
Semua kitab suci mengatakan bahwa kita dihadirkan ke dunia
ini untuk diuji. Engkau bisa menemukan pernyataan ini di dalam ajaran Musa
a.s., ajaran Isa a.s., dan dalam ajaran Muhammad s.a.w.
Tetapi apakah sebenarnya “diuji” itu? Seorang guru menguji
para siswanya untuk mengetahui tingkat kemampuan mereka, mengetahui tingkat
pemahaman mereka. Si guru tidak tahu sedalam apa para siswanya telah belajar.
Tapi bukankah Allah mengetahui? Allah mengetahui dengan sempurna kemampuan,
pemahaman, dan tingkat kesadaran kita. Mengapa Allah menguji, adalah untuk
membuat kita mengetahui. Ujian menunjukkan pada kita sendiri di mana kita
berada, dan juga membuat yang lain tahu di mana kedudukan mereka, melalui ujian
masing-masing.
Orang-orang yang menanggung ujian-ujian terberat adalah
para kekasih Allah—para nabi, para wali, dan para guru-guru milik Allah. Mereka
adalah simbol-simbol kasat mata bagi umat manusia, yang tugasnya adalah untuk
menampilkan alasan kehadiran kita di dunia ini.
Akhirnya, Ibrahim bin Adham berhasil melewati hampir semua
ujian yang diatur untuknya oleh syaikhnya, lalu pulanglah dia ke kota tempat
tinggal syaikhnya tersebut. Sebelum kedatangannya, syaikhnya berbicara kepada
murid-muridnya yang lain. Kau tahu, para syaikh mengetahui peristiwa-peristiwa
yang datang dan pergi, dalam diri mereka maupun di luar diri mereka. Sang
Syaikh menugaskan seluruh muridnya untuk pergi ke semua pintu gerbang kota.
“Kalau kalian melihat Ibrahim bin Adham pulang, jangan biarkan dia masuk.
Tinjulah dia, tendanglah. Ludahi, pukul, buat dia jatuh.” Ketika Ibrahim bin
Adham sampai di salah satu gerbang kota, saudara-saudara seperguruannya
melakukan berbagai hal yang kejam kepadanya. Dia pergi ke gerbang lain, tetapi
perlakuan saudara-saudaranya di sana pun sama saja buruknya. Dia pergi ke
gerbang yang ketiga dan disambut dengan cara yang sama. Ibrahim bin Adham
menegaskan, “Dengar! Apa pun yang akan kalian lakukan terhadapku—walaupun
kalian menumpahkan darahku atau mencoba membunuhku—tidak akan ada seorang pun
yang bisa menghalangiku menjumpai Syaikh.”
Ketika akhirnya dia berhasil melewati gerbang kota, para
saudaranya terus-menerus menendangi kedua tumitnya, meski dia telah mencapai
rumah syaikhnya. Para pejalan tetap saja menendang, menendang, dan menendang.
Ibrahim bin Adham tidak berkata sepatah pun. Dia terus saja berusaha untuk
mencapai rumah syaikhnya. Ketika seorang darwis yang masih muda—yang agak
terlalu bersemangat—menendang begitu keras sehingga kulit bagian belakang
tumitnya terkelupas. Ibrahim bin Adham berbalik dan berkata dengan tenang,
“Mengapa kalian lakukan semua ini kepadaku? Bukankah kalian tahu bahwa aku pun
saudaramu? Aku juga seorang darwis. Apakah kalian masih saja menganggapku
Sultan Balkh?”
Para darwis kemudian melaporkan hal ini kepada Syaikh,
yang kemudian mengatakan, “Nah, lihatlah, dia belum berhasil mencapai maqam
tertinggi. Dia masih belum melupakan siapa dirinya sebelumnya. Cita rasa
kesultanan, nikmatnya kekuasaan seorang raja masih tertinggal di ingatan
pangkal lidahnya dan dalam kenangannya.” []
0 komentar: