3 MONYET BIJAKSANA ( FALSAFAH CINA)
Falsafah ini sudah
berumur ribuan tahun, dan saya mengetahuinya saat berada di Jerman Barat,
sekitar tahun 80-an. Falsafah ini sudah saya gunakan dalam beberapa pembicaraan
interaktif di radio. Sedangkan tulisan ini sudah dibuat sejak 2005, saya edit
kembali sesuai dengan kondisi sosial, politik, hukum saat ini.
FALSAFAH “3 MONYET
BIJAKSANA”
Setiap orang, mahluk
hidup akan hidup dalam suatu kelompok, bersama dengan orang-orang lain dalam
kelompok kecil ataupun besar, mulai dari kelompok keluarga sendiri, suatu RT,
RW, kelompok pekerjaan, kelompok hobby (satu kesenangan bersama, fotography,
golf, caddy!?), kelompok alumni, kelompok facebook sampai kepada kelompok yang
lebih besar, lebih luas (nasional / internasional) dll. Memang ada orang-orang
yang hanya ingin berada dalam kelompok kecil saja tanpa mau bercampur dengan
dunia luar secara intens, seperti kelompok Samin atau Baduy, tetapi ada banyak
yang begitu gemar mencari begitu banyak perkelompokan, misalnya di internet.
Tidak ada yang salah. Semua terserah kepada setiap orang itu sendiri.
Tetapi, yang paling
penting, dalam berkelompok, bermasyarakat, apalagi berbangsa dan bernegara,
diperlukan adanya aturan, perjanjian, sebagai panutan, falsafah hidup. Panutan
atau falsafah hidup itu bisa datang dari berbagai penjuru, dalam negeri,
ataupun luar negeri.
Dari sekian banyak
falsafah yang ada, penulis menampilkan satu falsafah dari negeri China yang
biasa disebut sebagai falsafah “3 Monyet Bijaksana”, yang mungkin bisa
berfaedah bagi kita semua. Falsafah yang punya dua sisi, sisi kebaikan dan juga
sisi keburukan.
Falsafah ini biasanya
ditampilkan bukan dalam bentuk text (kalimat) tetapi berbentuk figur (patung) 3
ekor monyet yang duduk berdampingan. Setiap monyet menampilkan satu contoh
panutan, keteladanan, atau kebaikan.
Monyet pertama menutup
matanya dengan kedua telapak tangan, yang diartikan sebagai: “janganlah melihat
yang tidak baik”
Monyet kedua menutup
mulutnya dengan kedua telapak tangan, yang diartikan sebagai: “janganlah
berbicara yang tidak baik”
Monyet ketiga menutup
telinganya dengan kedua telapak tangan, yang diartikan sebagai: “janganlah
mendengar yang tidak baik”.
Maksud dari falsafah
ini adalah agar kita bijaksana dalam melihat, berbicara dan mendengar segala
hal dalam hidup kita:
Janganlah kita melihat,
memaksakan diri melihat sesuatu yang tidak baik untuk diri kita sendiri, untuk
masyarakat ataupun negara, juga
janganlah berbicara
yang tidak baik, apalagi mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh ataupun
marah-marah, memaki-maki orang lain, dan tentu juga
jangan sampai
mendengarkan pembicaraan yang tidak baik.
Apa yang diharapkan
di-panut-i dari falsafah ini:
Diharapkan setiap orang
bisa bertindak bijaksana dalam berbagai tindakannya,
membuat dan menjalankan
kebijaksanaan dan kebijakan yang dalam hidupan seseorang,
kebijakan dan kebijaksanaan
yang baik seharusnya lebih ditampilkan bukan malah ketidak-bijakan,
ketidak-bijaksanaan yang semau-maunya, yang liar, yang tidak mau peduli dengan
orang lain, berbuat jahat, mencuri, merampok, korupsi, berbohong, tidak adil,
tidak jujur, berlaku curang, bertindak sewenang-wenang dan berbagai
ketidak-baikan yang lain.
Ternyata falsafah ini
telah diterapkan/digunakan oleh aparatur politik dan hukum Indonesia dengan
baik. Kita (rakyat!!!) diharapkan tidak melihat ataupun mendengar yang tidak
baik, meskipun ada begitu banyak ketidak-baikan, rakyat tidak boleh melihat
itu, abaikan saja!!! Seperti kasus ibu Prita, yang seharusnya dia tidak boleh
melihat ketidak-baikan itu. Lebih-lebih lagi ibu Prita seharusnya tidak
membicarakan adanya hal yang tidak baik itu. Itu salah kata mereka! Maka ibu
Prita harus menanggung beban hukuman. Begitu juga dengan aturan hukum UU ITE
apa TEI atau T?I, saya nggak tahu itu. Yang jelas, undang-undang itu telah
memelintir falsafah 3 Monyet Bijaksana itu untuk kepentingan P.E. LEGISLATUS,
P.E. APARATUS, dan P.E. lainnya (kelompok mahluk purbakala) yang sedang
meradang (baca tulisan ‘Phitecantropus Erectus Motoritus’), karena keterbukaan
apalagi dunia maya (internet) sudah menjadi momok bagi mereka.
Seharusnya, aparatur
negara ini, siapapun mereka yang mau duduk di legislatif, judikatif, exekutif,
mencoba membuat kebijakan, kebijaksanaan yang baik, yang dapat dilihat,
didengar dan dibicarakan orang sebagai hal yang baik.
Tetapi saat ini,
semuanya sudah terbolak-balik, ketidak benaran, ketidak-baikan,
ketidak-becusan, ketidak-bijakan, ketidak-bijaksanaan yang ada tidak boleh
dilihat, tidak boleh didengar apalagi dibicarakan oleh rakyat, baik dalam
kelompok kecil terbatas apalagi dalam kelompok keterbukaan internet saat ini.
Tampilan buruk aparatur itu tidak boleh dibicarakan, tidak boleh
disebar-luaskan, apalagi ditulis di blog-blog apapun!!!
Bukanlah perbaikan atau
perubahan atas ketidak-benaran yang dilaporkan yang dituliskan seseorang yang
mereka upayakan, tetapi mereka lebih suka menghukum mereka yang menulis
ketidak-baikan dengan alasan ‘pencemaran nama baik’. (Apakah saya harus takut
terhadap undang-undang itu?)
SIFAT BURUK
KE-MONYET-AN
Ada 3 kebaikan yang
diajukan oleh falsafah 3 monyet bijaksana ini, tetapi dibalik itu ada juga 3
sifat tidak baik yang juga ditampilkan oleh ketiga monyet-monyet itu, yaitu:
BUTA, BISU dan BUDEK (TULI).
Sifat-sifat yang
seharusnya tidak ditampilkan dalam kehidupan kita sebagai anggota kelompok
masyarakat apapun, apalagi sebagai seorang pemimpin kelompok, seseorang tidak
boleh BUTA, BISU dan BUDEK terhadap keadaan anggota kelompoknya.
Janganlah buta terhadap
penderitaan rakyat,
janganlah budek
terhadap penderitaan rakyat,
janganlah bisu tentang
penderitaan rakyat.
Apa yang sedang
terjadi!?
Mereka tidak mau tahu
dengan penderitaan rakyat yang bisa dilihat, didengar dan dibicarakan orang
banyak. Mereka tidak mau tahu dengan apa yang dirasakan banyak orang-orang yang
peduli terhadap keadaan rakyat, bahkan orang-orang yang peduli itu dipersulit
dalam usaha-usaha mereka menampilkan situasi dan kondisi rakyat. Kebenaran
dibolak-balik menjadi ketidak-benaran, ketidak-benaran dinyatakan sebagai
kebenaran.
Ada sedemikian
penderitaan rakyat yang seharusnya dapat mereka lihat, seharusnya mereka mau
mendengarkan teriakan-teriakan orang-orang yang peduli akan penderitaan rakyat.
Lihatlah dan dengarkan
teriakan rintihan rakyat
yang kesusahan,
yang hidupnya sudah
tidak layak,
yang hampir gantung
diri karena tidak bisa bayar SPP,
yang bunuh diri karena
tidak punya pekerjaan/penghasilan,
yang dagangannya
digaruk, gerobaknya dihancurkan,
yang meloncat dari
gedung 14 tingkat karena tak tahan penderitaan,
yang susah mendapatkan
pupuk,
yang tidak mendapatkan
air untuk bertani, karena airnya dikuasai,
yang terus diakali oleh
lembaga rumah yang sakit,
yang disiksa saat
menjadi TKI/TKW,
yang dst. . . dst,
terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.
Bukankah kita sudah
memiliki pemimpin-pemimpin yang memiliki ketiga sifat buruk itu, dan mungkin
juga ada yang memiliki kombinasi ketiganya sehingga pemimpin itu bisa disebut
sebagai pemimpin “NDABLEG”, gila, sinting, yang tidak mau tahu akan kepentingan
orang banyak. Pemimpin-pemimpin yang demikian itu tidak pernah memikirkan nasib
rakyatnya tetapi lebih mementingkan dirinya sendiri ataupun kelompok kecil yang
ada disekitarnya sendiri.
Lihatlah dalam kampanye
belakangan ini, mereka memperlihatkan kesuksesan-kesuksesan pribadi mereka,
yang tidak seimbang dengan keadaan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Mereka
menggambarkan betapa kayanya mereka, ada yang memiliki 22 milyar, bahkan ada
yang sampai trilyunan rupiah.
Bagaimana cara mereka
mengumpulkan kekayaan itu, apakah dari uang-uang gaji mereka?
Apakah hidup mereka
benar-benar bebas korupsi? (Baca tulisan: “Kehidupan Tidak Bebas Korupsi”)
Pesan moral dari 3
monyet bijaksana
Falsafah ini seharusnya
diketahui oleh setiap orang, dijalankan dalam kehidupan keseharian mereka,
dalam bermasyarakat, berbangsa dan tentu bernegara. Dengan falsafah ini,
diharapkan agar seseorang mau bijaksana dalam menggunakan mata, mulut dan
telinganya, agar bersikap dan bersifat bijak, apalagi bagi seorang pemimpin,
diharapkan dia tidak buta, tidak budek dan tidak bisu terhadap berbagai masalah
yang menimpa rakyatnya.
Untuk mencapai satu
status kondisi kehidupan bermasyarakat yang baik, diharapkan semua kalangan
mencoba mencapai suatu kebaikan bagi masyarakat itu sendiri. Orang-per-orang
menjaga hubungan baiknya, institusi usaha memberikan jasa dan barang yang baik,
bukan hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya dan melupakan hak orang lain.
Bagaimana mungkin kita
melihat yang baik-baik padahal gambaran yang ada memang terlihat sangat
ambur-adul! Apakah kemudian kita tidak boleh mencoba merubah keadaan itu,
dengan membuat pernyataan protes yang baik, berbicara yang tidak enak tetapi
untuk kebaikan bersama!
Sebagai seorang
warganegara, sayapun melihat kenyataan keadaan yang tidak baik, mendengar
berbagai hal-hal yang tidak baik, tentu saja saya akan ikut memperbaikinya.
Bahkan harus! Jadi kalau saja apa yang saya katakan itu terdengar tidak baik,
tetapi sebenarnya disampaikan untuk kebaikan bersama, tentu itu menjadi suatu
perkataan yang baik! Iya kan!? Begitu juga dengan seorang PRITA, dia ingin
menyampaikan suatu pernyataan yang diharapkan menjadi kebaikan bagi banyak
orang. Janganlah maksud baik itu dikatakan sebagai pencemaran nama baik!
Dihukum! Dan untuk keadaan seperti ini dibuatkan UU ITE, dengan denda milyaran
rupiah! Ini bukan maksud dari falsafah 3 monyet bijaksana, tetapi lebih
merupakan sifat keMONYETannya saja. Seperti monyet-monyet di hutan dengan hukum
rimbanya, siapa kuat dia berkuasa, siapa lemah dia dimangsa. Apakah kita hanya
mahluk penghuni hutan, dengan raja rimba sebagai penguasanya? Atau kita ini
manusia?
Sebagai pemimpin, tentu
saja orang itu diharapkan dapat membuat semua aspek kehidupan rakyat berada
dalam keadaan yang baik, bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, sekarang saat
berkampanye dia ber-baik-baik kepada banyak orang, tetapi setelah itu dia
menjalankan “BUTA – BUDEK – BISU” sementara rakyatnya tidak boleh berkata yang tidak
baik, walaupun melihat dan mendengar ketidak-baikan yang terjadi saat ini.
Wahai pemimpin,
pakailah kebijakan dan kebijaksanaan dari falsafah 3 monyet ini, bukan
menggunakan perilaku KEMONYETANnya. Menjadi orang itu lebih susah daripada jadi
sekadar jadi monyet!
Sumber : bambangbakti.wordpress.com