Blogger templates

  • your image alt

    Slider Title 1

    Place Your Description here.... At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blanditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas...

  • your image alt

    Slider Title 2

    Place Your Description here.... At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blanditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas...

  • your image alt

    Slider Title 3

    Place Your Description here.... At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blanditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas...

ISLAM : REINKARNASI??


Kata “reinkarnasi” asalnya dari kata re+in+carnis. Kata Latin carnis berarti daging. Incarnis artinya mempunyai bentuk manusia. Sedangkan reinkarnasi adalah masuknya jiwa ke dalam tubuh yang baru. Jadi, jiwanya adalah jiwa yang sudah ada, tapi jasadnya baru. Maka, reinkarnasi juga dapat disebut kelahiran kembali. Kondisi ini disebut pula sebagai migrasi jiwa. Artinya, jasad lama ditinggalkan alias mati, dan pada suatu kesempatan jiwa tersebut masuk ke dalam jasad baru, alias menjadi bayi kembali. Dalam bahasa Inggris reinkarnasi disebut sebagai reborn atau reembodiment.
Bagi agama-agama di Timur, agama-agama yang tumbuh di India, Tibet, Cina, Jepang, dan di Kepulauan Nusantara; reinkarnasi bukan lagi sebagai hal yang aneh. Reinkarnasi bukan dipahami sebagai kepercayaan atau keimanan, tapi sebagai hukum alam.
Bagaimana dengan reinkarnasi di Dunia Barat? Sumber dasar filsafat Barat adalah budaya Yunani dan Romawi. Pada kedua budaya tersebut, reinkarnasi diterima sebagai kepercayaan. Di antara filsuf Yunani kuno, Plato yang hidup pada abad ke 5–4 seb. M, percaya bahwa jiwa tidak pernah mati, dan mengalami reinkarnasi berkali-kali. Lalu, kapan reinkarnasi itu berakhir? Ya, segala sesuatu pasti berakhir. Menurut agama Hindu, reinkarnasi berakhir bila sang manusia mengalami moksa. Menurut agama Buddha kelahiran kembali tak akan terjadi lagi bila roda samsara telah berhenti. Sang Jiwa selanjutnya ke alam nirwana.
Tujuan Hidup dan Mati Menurut Ayat-ayat Alquran
Sebagai seorang muslim tentu saya akan menguraikan reinkarnasi ini berdasarkan dalil-dalil Alquran dan Hadis. Dan, dalil-dalil ini tergolong ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat yang perlu dipahami maknanya dengan seksama. Oleh kalangan awam ayat-ayat ini biasanya dilepas begitu saja, dan tidak ada usaha memahaminya. Padahal, Alquran telah memerintahkan pembacanya untuk menggunakan akal atau pikiran untuk dapat mengerti makna yang tersembunyi dibalik makna literalnya.
Marilah kita simak ayat QS al-Mulk [67]: 2.
Alladzî khalaqa al-mawta wa al-hayâta li yabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalâ wa huwa al-‘azîz al-ghafûr.
"Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan. Dengan cara itu Dia mendidik dan melatihmu, dan untuk memberikan nilai bagi siapa yang lebih baik amalannya. Dan, Dia itu Maha Perkasa dan Maha Melindungi."
Pertama, mati dan hidup itu diciptakan. Hal semacam ini sering luput dari pemahaman. Dikiranya, yang diciptakan Tuhan itu hanya hidup. Mati ada di dalam wilayah ciptaan Tuhan. Demikian pula hidup. Tentu saja yang dimaksud di sini bukanlah “hidup sejati”. Tapi, hidup di dalam jasad. Jadi, hidup di dalam jasad, dan mati jasad itu ciptaan.
Jasad atau raga hanyalah pakaian bagi “jiwa”, soul. Jika raga tidak bisa dipakai alias tidak berfungsi, maka jiwa akan meninggalkannya. Tetapi, jika jiwa hanya sekadar meninggalkan jasad, belum tentu jasad mengalami kematian. Dalam peristiwa OOBE (Out Of the Body Experience), jiwa dapat keluar tubuh dan kembali lagi. Tidur nyenyak pun dapat membuat jiwa ke luar dari tubuh untuk beranjang sana-sini. Hal semacam ini dijelaskan dalam QS al-Zumar [39]: 42, sebagai berikut.
"Allah yang memegang jiwa manusia ketika matinya dan di waktu tidur bagi yang belum mati. Dan, ditahan-Nya jiwa yang telah ditetapkan kematiannya, sedangkan yang belum mati dilepaskan hingga masa ajal tiba. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang yang berpikir."
Selama garis kematian belum tiba, jiwa dapat bepergian kesana-kemari. Menurut mistik Timur, jiwa dan raga ini ada tali pengikat yang disebut benang perak atau silver cord. Selama benang ini tidak putus, maka orang yang mengalami OOBE tidak akan tertimpa kematian.
Bila dilihat dari sudut energi, orang yang mengalami mati itu telah kehilangan energi prana, elan vital, atau premananya (Jawa). Baik benang perak atau premana tidak perlu dipertentangkan. Keduanya merupakan elemen kehidupan. Jika salah satunya rusak, orangnya akan mati. Artinya, bilamana elemen-elemen yang membangun hidup itu rusak alias tidak berfungsi, jiwa tak akan dapat beroperasi lagi. Jiwa akan meninggalkan tubuh yang demikian itu.
Kedua, penciptaan mati dan hidup itu dimaksudkan untuk mendidik dan melatih manusia agar manusia dapat beramal kebajikan. Jadi, jelas sekali bahwa proses mati-hidup-mati-hidup di dunia ini dimaksudkan untuk melatih manusia. Dunia ini sekolahan. Dunia adalah ladang bagi kehidupan berikutnya (Hadis). Siapa yang menanam, ia pula yang mengetam. Dan, dalam QS 51:56 disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia itu adalah ma’rifat Allah, mengenal Allah. Untuk apa? Agar manusia dapat kembali ke asalnya, yaitu kembali kepada Allah.
Seringkali balasan amal itu dipahami sebagai balasan atau imbalan yang akan diberikan kepada manusia setelah dibangkitkan dari kuburnya di alam akhirat setelah hancur-leburnya bumi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataan tentang cepatnya perhitungan Tuhan terhadap para hamban-Nya. Lebih dari 10 ayat yang menyatakan bahwa hisab Tuhan atau perhitungan amal baik dan buruk manusia itu amat cepat. Kalau hukuman itu ditangguhkan hingga hari kiamat atau setelah hancurnya alam semesta, maka ada orang yang sudah jutaan tahun dalam masa menunggu, dan bagi yang hidup menjelang hancurnya alam semesta malah akan menerimanya lebih cepat. Tentu, hal ini akan bertentangan dengan kasih sayang Tuhan, sekaligus bertentangan dengan keadilan-Nya.
Balasan dan imbalan dari Tuhan terhadap amalan manusia itu amat cepat alias segera. Dan, perhitungan itu tidak sperti nilai rapor. Apabila nilai rapor sudah diperhitungkan nilai plus-minusnya, sehingga seseorang tinggal terima jadi, apakah ia naik kelas atau tinggal kelas; tidak demikian dengan perhitungan Tuhan. Dalam QS al-Zalzalah [99]:7–8 disebutkan sebagai berikut:
Faman ya‘mal mitsqâla dzarrah khayran yarâh.
Wa man ya‘mal mitsqâla dzarrah syarran yarâh.
"Barangsiapa yang beramal kebajikan sebesar zarah, maka buah amalnya itu akan dilihatnya.
Dan, barangsiapa berbuat keburukan sebesar zarah, maka balasan amal buruknya itu pun akan dilihatnya."
Jadi, tidak ada perhitungan dengan sistem yang dapat mencapai angka 6 atau lebih akan naik kelas atau akan tinggal di surga, dan yang tidak dapat angka indeks prestasi itu akan tinggal di neraka. Tidak. Tidak demikian! Bahkan bagi yang beramal keburukan sekecil debu pun akan merasakan balasannya. Sebaliknya, yang beramal kebaikan sekecil zarah pun akan merasakannya pula.
Balasan Tuhan itu amat cepat. Dalam bahasa Arab disebut sarî‘ al-hisâb. Balasan yang cepat artinya suatu balasan yang dapat diamati di dunia ini. Dan, sistem perhitungannya pun sebagaimana dikemukakan pada ayat-ayat di Surah al-Zalzalah tersebut. Itu artinya balasan atau imbalan itu berlangsung di dunia ini. Caranya melalui kelahiran kembali. Hal ini disebut dalam QS 6:94, bahwa manusia datang sendiri-sendiri sebagaimana kejadian pada mulanya. Dan, mengenai penciptaan pada kali yang lain ini akan jelas sekali diterangkan dalam QS 29: 19–21 sebagai berikut.
"Dan, apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan pada awalnya dan mengulanginya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah."
"Katakanlah: “Berjalanlah di bumi, maka gunakan nalarmu untuk memahami bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, kemudian menciptakannya pada kali yang lain. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."
"Allah mengazab orang yang menghendaki (azab) dan memberikan rahmat kepada yang menghendakinya. Dan, hanya kepada-Nya kamu dikembali-kan."
Perhatikan dengan seksama ayat tersebut. Pada ayat yang pertama, isi perintah-Nya adalah memperhatikan cara Allah menciptakan manusia. Ya, yang perlu diperhatikan adalah cara Allah menciptakan manusia pada mulanya. Bagaimana? Ternyata, caranya melalui pertemuan sel telur pada wanita dan sel sperma dari pria. Kemudian, keduanya bersatu, membelah diri, dan akhirnya tumbuh menjadi janin di dalam perut ibu. Lalu, lahir ke bumi sesuai dengan garis nasibnya. Ada yang dilahirkan di tengah orang berada, dan ada yang dilahirkan melalui keluarga papa.
Setelah paham tentang penciptaan pada pertamanya, maka kita diminta memperhatikan caranya Allah mengulangi penciptaan itu. Kita diperintah untuk memperhatikan pada penciptaan ulangan, agar kita ngeh, kita paham benar-benar bagaimana proses penciptaan manusia.
Ayat yang kedua, memerintah kita untuk menjelajah bumi ini. Kita diperintah untuk melakukan study tour, atau widya wisata. Untuk apa? Untuk mengerti tentang bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, dan menciptakan pada kali lainnya. Coba renungkan dalam-dalam! Seandainya penciptaan pada kali lain itu terjadi setelah dunia ini hancur lebur, ya akan menjadi perintah yang salah. Mengapa? Karena penyelidikan penciptaan itu cukup di bumi ini, baik penciptaan pada mulanya maupun pada kali yang lain. Itu artinya kebangkitan itu di bumi ini. Yaitu, berupa kelahiran kembali. Ya, lahir kembali adalah penciptaan pada kali yang lain. Kalau bumi sudah hancur, maka kita tidak akan dapat melakukan studi tentang kebangkitan. Kita tidak dapat memperoleh pemahaman tentang itu.
Nah, pada penciptaan kali yang lain itulah seorang manusia yang dilahirkan menerima azab atau mendapat rahmat. Azab atau rahmat yang diterimanya itu berdasarkan kehendak orang yang dilahirkan kembali. Jadi, bukan karena kehendak Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan sama sekali tidak merugikan hamba-Nya. Dalam QS 3:117 disebutkan bahwa Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka yang menganiaya diri mereka sendiri. Sedangkan dalam QS 10:44 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, akan tetapi manusia sendiri yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
Jelas sudah, bahwa bukan Allah yang menghendaki azab bagi manusia. Allah hanyalah menjalankan roda hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Sedangkan manusia itu sendiri adalah bagian dari hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Karena hukum alam berjalan di bawah kehendak Tuhan, maka seakan-akan pahala dan balasan itu atas Kehendak-Nya. Sayang sekali, dalam berbagai terjemahan, kata man yasyâ’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Allah menghendaki. Tentu saja terjemahan demikian melanggar pernyataan Allah bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun.
Apabila kita memahami bahwa Allah tidak merugikan manusia sedikit pun, lalu siapa yang membuat ada yang bernasib baik, dan ada yang bernasib buruk? Lalu, mengapa ada orang yang mulus hidupnya dan ada yang tidak luput dari bencana? Apa ada garis tangan seseorang?
Jawabnya, semua itu akibat ulah dan perbuatan orang yang tertimpa bencana itu sendiri. Kalau seseorang bernasib baik maka itu akibat amal kebajikan orang itu sendiri. Amalan kapan? Yaitu, amal baik dan buruk yang pernah dikerjakan pada kehidupan yang lampau. Jadi, takdir baik dan buruk itu digoreskan oleh seseorang pada masa lampaunya. Jika takdir baik dan buruk itu ditetapkan oleh Tuhan di zaman azali, maka itu artinya Tuhan telah berbuat zalim bagi sebagian hamba-Nya. Jika sudah demikian, berarti Tuhan telah pilih kasih terhadap hamba-Nya. Padahal, Tuhan tidak merugikan sedikit pun kepada manusia. Maka, jelas Tuhan tidak menetapkan takdir sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam hingga sekarang ini. Maka, kita sekarang ini bukanlah kita yang baru dicipta. Tapi, kita sekarang ini adalah manusia yang telah lahir beberapa kali, bahkan ratusan atau bahkan ribuan kali.
Mengenai petaka atau bencana yang menimpa manusia di bumi ini, dapat dirujuk pada ayat-ayat berikut. Perhatikan dengan seksama dua ayat di bawah ini.
"Dan, musibah apa pun yang menimpamu, maka itu disebabkan oleh tindakanmu sendiri, dan Allah mengampuni sebagian besar kesalahanmu."
"Dan, kalian tidak dapat melepaskan diri dari bumi ini. Bagimu, tiada pelindung dan penolong selain Allah." (QS 42: 30-31)
Apa saja jenis musibah atau bencana yang menimpa seseorang, ternyata itu akibat perbuatan tangannya sendiri. Bukan oleh orang lain. Bukan oleh Tuhan. Bukan oleh setan dan jin. Ternyata semua itu disebabkan oleh ulah yang tertimpa musibah itu. Termasuk kalau ada bayi yang dilahirkan cacat. Itu disebabkan oleh perbuatan jiwa si bayi tersebut.
Banyak orang yang tidak memahami tentang kelahiran kembali. Atau, reinkarnasi. Sehingga, kalau ada bayi cacat maka itu dianggap oleh kondisi kesehatan orangtuanya. Misalnya, ada kerusakan genetis. Penyakit dalam kandungan. Oleh sebab-sebab lain. Atau, karena dalam peperangan si bayi terkena peluru nyasar sehingga meski terselamatkan ia kehilangan anggota badannya. Umumnya orang tidak mengerti bahwa itu disebabkan oleh hutang-piutang karma atau perbuatan.
Memang, ada proses karma. Pertama si orangtua mempunyai karma negatif, atau karma buruk. Sehingga ketika dia mengandung, janin yang dikandungnya itu cacat. Jadi, yang cacat itu raga si bayi. Sedangkan raga itu sendiri ya tidak ada maknanya. Nah, ketika raga bayi itu cacat, maka jiwa yang dimasukkan ke dalam raga yang cacat itu adalah jiwa yang hutang karma. Jiwa yang pada kehidupan masa lalunya banyak berbuat keburukan. Dus, bayi yang dilahirkan cacat itu merupakan kaitan karma orangtua dan bayi tersebut. Sama-sama punya karma buruk pada kehidupan masa lalunya. Meskipun hal ini tidak berarti ada kaitan karma buruk antara orangtua dan si bayi pada kehidupan lalunya.
Kembali kepada ayat di atas. Disebutkan bahwa Tuhan mengampuni sebagian besar kesalahan manusia. Apa kaitannya dengan reinkarnasi? Jika Tuhan tidak mengampuni sebagian besar kesalahan manusia, maka manusia tidak akan mengalami kemajuan dalam hidupnya. Bayangkan, jika hutang seratus unit harus dibayar 100 unit; apa yang terjadi? Tak ada perubahan di dalam kehidupan manusia. Tuhan itu Maha Pemaaf. Sehingga, Tuhan tak akan mewujudkan balasan lebih daripada keburukan yang pernah dibuat hamba-Nya. Tuhan bukanlah tukang balas. Namun, kita pun harus paham bahwa mekanisme sebab-akibat itu merupakan ketetapan-Nya.
Dalam bahasa agama, cara kerja alam raya dalam kaitannya dengan sebab dan akibat disebut pemberian pahala untuk kebaikan dan pembalasan atau azab bagi kejahatan. Karena rahman dan rahim-Nya, kebaikan akan mendatangkan kebaikan berlipat ganda, tapi keburukan hanya mengakibat-kan keburukan yang setara atau kurang. Dalam bahasa psikologis alam raya itu bersifat memaafkan. Hal semacam inilah yang disebut dalam Alquran sebagai kebajikan Tuhan. Dia memaafkan sebagian besar kesalahan yang pernah dilakukan manusia.
Pada QS 42: 31, terdapat peringatan dari Tuhan. Apa isinya? Secara normal, manusia tidak akan dapat meninggalkan bumi ini. Salah satu unsur pembentuk fisik manusia adalah bumi. Maka, secara alami manusia tertarik oleh keindahan bumi. Dan, gaya tarik bumi terhadap unsur-unsur fisik manusia, yaitu bumi, air, api dan udara, sangat kuat. Sehingga manusia cenderung untuk kembali hidup di bumi. Hal semacam ini dikabarkan dalam QS 7:25, bahwa manusia dihidupkan oleh Tuhan di bumi, dimatikan di bumi dan dibangkitkan di bumi juga.
Dus, jikalau manusia hanya mengikuti hukum alam, tidak ada aksi dari manusianya sendiri untuk melepaskan diri dari bumi, maka selamanya ia akan tinggal di bumi. Sehingga, kenikmatan surga pun sebatas kenikmatan yang tersedia di bumi ini. Maka, pada penutup ayat 31 disebutkan bahwa bagi manusia tak ada pelindung dan penolongnya selain Allah. Dengan kata lain, pelindung dan penolong manusia itu hanyalah Allah!
Kata “Allah” dalam Alquran adalah sebutan bagi Tuhan semesta alam. Maka, bagi yang bukan orang Islam tidak perlu rancu terhadap sebeutan Tuhan. Bahkan di Alquran sendiri Tuhan dapat disebut berdasarkan Nama-nama baik-Nya (QS 17: 110). Bagi khazanah “New Age”, Tuhan disebut sebagai “Sang Maha Diri”, the Absolute Reality atau Absolute Self. Sedang-kan diri manusia ya “sang diri” atau diri sejati saja. Maka, tujuan hidup manusia adalah kembalinya “sang diri” kepada “Sang Maha Diri”.
Perjalanan sang diri kepada Tuhannya dalam hitungan waktu fisik amatlah panjang. Manusia yang sudah terkungkung oleh ruang-waktu, harus menempuhnya dalam hitungan jutaan tahun bumi. Jika satu generasi perlu hadir selama 50–100 tahun, maka perlu puluhan hingga ribuan kali manusia dapat menyempurnakan dirinya. Dengan kata lain, untuk dapat kembali ke alam kelanggengan atau paling tidak keluar dari bumi manusia perlu dilahir-kan berkali-kali. Manusia perlu mengikuti kala-cakra, atau putaran roda kehidupan di bumi.
Untuk kembali kepada-Nya, ya hanya dengan cara berlindung kepda-Nya semata. Jika kita masih berlindung kepada yang lain, kepada selain-Nya yang notabene hamba-Nya, maka kita pasti menderita di bumi ini. Makanya, semua agama yang ada memerintahkan manusia untuk berlindung dan mohon pertolongan kepada-Nya semata. Inilah yang disebut tauhid dalam agama Islam. Meng-Esa-kan Tuhan.
Musibah atau bencana di bumi sebenarnya merupakan pelajaran agar manusia dapat menyadari kesalahannya dan kembali kepada jalan Tuhan. Namanya saja kembali kepada-Nya, maka jalan yang harus ditempuh pun jalan-Nya yang disebut shirâth al-mustaqîm, jalan lurus. Yaitu, jalan untuk hamemayu hayuning bawana dan tidak menghambakan diri kepada yang selain-Nya.
Perhatikan QS al-Rûm [30]: 41 – 45 sebagai berikut.
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia. Allah bermaksud untuk membuat mereka itu merasakan sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka dapat kembali (kepada jalan-Nya)."
"Katakanlah: “Lakukan perjalanan di bumi dan perhatikan bagaimana akibat perbuatan orang-orang sebelummu. Sebagian besar mereka itu merupakan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
"Oleh karena itu, hadapkanlah dirimu kepada agama yang lurus sebelum datangnya hari dari Allah yang tidak dapat ditolak. Pada hari itu mereka terpisah-pisah."
"Barangsiapa yang kafir maka ia sendiri yang menanggung kekafirannya, dan bagi yang beramal saleh maka buah kebaikannya untuk dirinya sendiri."
"Allah melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang mengingkari-Nya."
Pertama, ketika ayat ini diturunkan, daratan dan laut telah mengalami kerusakan. Apalagi sekarang! Dan, dinyatakan dengan tegas bahwa kerusa-kan itu akibat perbuatan manusia. Bukan disebabkan oleh perilaku hewan. Artinya, potensi kerusakan itu berasal dari manusia. Ya, akibat ulah manusia rusaklah daratan dan laut. Ternyata, kerusakan di darat dan laut itu dibiarkan oleh Allah agar manusia (yang melakukan kerusakan itu) merasakan seba-gian dari akibat perbuatannya. Untuk apa? Agar yang pernah melakukan kerusakan itu mendapat pelajaran untuk kembali kepada jalan yang benar. Ya, kembali kepada jalan-Nya.
Jadi, yang merasakan akibat perbuatannya itu ya yang pernah hidup pada masa lampau dan berbuat kerusakan. Bukan orang yang pertama kali dilahirkan di bumi ini. Bukankah Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun? Tidak mungkin manusia yang tidak berbuat kesalahan dikenakan azab. Dan, karena kasih-sayang Tuhan pula manusia yang dihidupkan lagi itu merasakan sebagian saja dari akibat perbuatannya. Manusia tidak merasakan seluruh akibat perbuatan buruknya. Hal semacam inilah yang disebutkan pada ayat lain bahwa Tuhan itu memaafkan sebagian besar kesalahan manusia.
Kedua, lagi-lagi kita diperintah Tuhan untuk melakukan perjalanan di muka bumi ini. Tapi, pada ayat ini kita diperintah untuk memperhatikan akibat perbuatan buruk orang-orang yang hidup pada masa lalu. Apa kata ayat tersebut? Banyaknya kerusakan di darat dan laut itu ternyata dilakukan oleh orang-orang musyrik. Orang-orang yang menyekutukan Tuhan. Dus, orang yang menyekutukan Tuhan itu adalah orang yang membuat kerusakan di bumi ini. Jelas kan, bahwa mereka bukanlah orang yang beribadah di depan patung?
Jelas, bahwa kemusyrikan itu lebih terkait dengan amal perbuatan manusia. Jika amalan itu merusak bumi, maka itu tindakan syirik. Jika perusakan bumi itu merupakan perilaku seseorang, maka orang itu disebut sebagai orang musyrik alias menyekutukan Tuhan. Agar tidak terjerumus ke jurang kemusyrikan manusia diperintah untuk menghadapkan dirinya kepada agama, jalan hidup, yang lurus. Yaitu, jalan hidup yang tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Jalan hidup yang demikian inilah yang disebut “islam” (sebagai generik). Dalam kehidupan aktual, islam yang generik ini bisa disebut Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lainnya.
Ketiga, manusia harus berusaha berada di jalan yang lurus. Di tempat lain disebut sebagai orang yang bertakwa. Usaha ini harus ditempuh sebelum datangnya hari dari Allah yang disebut sebagai “hari yang tidak dapat ditolak”. Hari apa gerangan? Itulah hari kematian dan sekaligus kebangkitan seseorang. Karena dalam satu hari orang yang mati itu banyak, maka yang dibangkitkan pun banyak. Di mana dibangkitkan? Ya, di bumi ini! Lihat kembali QS 7:25.
Manusia dibangkitkan melalui kelahiran melalui ibunya sendiri-sendiri. Dalam ayat mereka disebut menjadi terpisah-pisah. Dan, disebutkan pada ayat berikutnya bahwa mereka yang kafir ya akan menanggung perbuatan kekafirannya. Yaitu, dilahirkan sebagai manusia yang sengsara. Sedangkan yang dahulunya berbuat amal saleh, ya akan dilahirkan di tempat yang penuh anugerah Tuhan.
Nah, sekarang perhatikan kata musyrik dan kafir. Identik kan? Kalau yang dirujuk itu sikap hidup, maka namanya musyrik. Tapi, kalau yang dirujuk itu keyakinan dan tindakannya yang mengingkari kebenaran, maka namanya kafir. Jadi, kafir itu tak ada kaitannya dengan agama yang dipeluk. Agama apa saja yang dipeluknya, kalau ia mengingkari kebenaran atau melakukan kerusakan maka ia termasuk orang kafir!
Keempat, Allah tidak mencintai orang-orang yang ingkar. Perhatikan pernyataan “tidak mencintai”, lâ yuhibbu! Ini tidak dapat diterjemahkan menjadi tidak menyukai. Berbeda! Allah tidak terlibat dalam suka dan tidak suka. Allah juga tidak terlibat dalam soal membenci atau tidak membenci. Allah itu bersifat mahabbah, mencintai hamba-Nya. Tetapi, kalau si hamba itu mengingkari-Nya, maka Dia tidak mencintainya.
Apa bedanya “tidak mencintainya” dengan “membenci”? Benci adalah perasaan tidak suka. Jadi, kalau Tuhan membenci berarti dalam diri Tuhan itu terkandung perasaan tidak suka. Ini tentu saja berlawanan dengan sifat-Nya yang rahman dan rahim. Jelas, tidak mungkin terjadi sifat yang saling berlawanan pada dirinya. Sifat Tuhan adalah Cinta. Maka, karena itu para ahli tasawuf menyebut Tuhan itu sendiri Cinta.
Cinta itu bukan suka! Cinta mengandung makna karunia. Artinya, sesuatu yang dicintai niscaya mendapat perhatian atau karunia dari yang mencintai. Jadi, kalau Tuhan mencintai seorang hamba, maka hamba itu akan mendapatkan cucuran rahmat dan karunia dari-Nya. Misalnya, sang hamba yang dicintai Tuhan itu akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan kenikmatan. Lha, kalau Tuhan “tidak mencintai” orang kafir, maka Dia membiarkan si kafir itu menerima akibat perbuatan-Nya.
Nah, apa yang diharapkan manusia? Tentu saja, rahmat-Nya. Kalau belum dapat melepaskan diri dari bumi ya perlindungan dan kenikmatan hidup di bumi. Dengan perlindungan-Nya itu seorang manusia dapat terus-menerus berusaha di jalan yang benar.
Dalil-dalil Reinkarnasi
Umat Islam merasa bahwa reinkarnasi itu tidak diajarkan dalam Islam. Bahkan pandangan tentang reinkarnasi dianggap bid’ah. Atau, pandangan sesat. Hal ini dapat dimengerti, karena reinkarnasi tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam Alquran. Untuk dapat memahaminya kita harus benar-benar serius dalam menelaah ayat-ayat Alquran maupun Hadis.
Mengapa reinkarnasi di dalam Alquran tidak dijelaskan secara eksplisit dalam satu topik tersendiri? Karena, Alquran diwahyukan kepada Nabi sesuai dengan budaya Arab yang ada pada waktu itu. Dalam budaya Arab, kehidupan di akhirat saja diangap aneh. Kalau toh ada orang-orang Quraisy yang menerima pandangan tentang akhirat, sebenarnya itu merupakan pengaruh agama Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Apa pandangan asli Arab tentang hidup sesudah mati? Tidak ada! Orang Arab pra-Islam berpandangan bahwa hidup ini hanya sekali saja. Hal ini direkam di beberapa ayat Alquran. Marilah kita baca dengan seksama rekaman Alquran terhadap kepercayaan orang-orang Arab pra-Islam.
6:29 – Dan, tentu mereka akan mengatakan: “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.”
23: 35-37 – “Apakah dia menjanjikan kepada kamu sekalian bahwa bila kamu telah mati, telah menjadi tanah dan tulang-belulang, kamu akan dikeluarkan? Jauh, jauh sekali (dari kebenaran), apa yang diancamkan kepadamu. Kehidupam kita itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup, dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi.”
34:7 – “Dan orang-orang kafir berkata: ‘Maukah kamu kami tunjukkan seorang lelaki yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur, sesungguhnya kamu benar-benar akan dibangkitkan dalam ciptaan baru?’”
44:35 – “Tidak ada kematian selain kematian kami yang pertama. Dan kami sekali-kali tidak dibangkitkan.”
Ayat-ayat tersebut sudah jelas menggambarkan kepercayaan yang ada pada masyarakat Arab. Mereka itu tidak percaya bahwa kehidupan itu tidak berakhir dengan kematian. Mereka meyakini bahwa kehidupan ini sekali saja, dan kematian merupakan akhir bagi segalanya. Makanya, mereka itu hedonistis. Mereka itu hanya berusaha mencari kesenangan duniawi semata. Mereka tidak peduli bahwa kesenangan yang diusahakan itu merugikan orang lain atau tidak.
Mereka kaget luar biasa ketika Nabi Muhammad mengajarkan tentang kehidupan setelah kematian. Baru dinyatakan ada kehidupan baru sebagai ciptaan baru setelah mati, mereka itu sudah menolak. Apalagi kalau mereka itu dijelaskan secara gamblang bahwa kehidupan itu bisa berlanjut berkali-kali, mungkin nggak percayanya itu kuadrat.
Reinkarnasi itu ayat mutasyabihat. Ya, kelahiran kembali itu diungkapkan dalam Alquran secara tersamar. Ayat-ayatnya harus dipikirkan dan direnungkan dalam-dalam. Kalau tidak dipikirkan masak-masak, pasti akan terjerumus pada penerjemahan atau penafsiran yang menyimpang.Ayatnya tidak disampaikan secara berurutan atau sering diselipkan di berbagai topik kehidupan. Makanya, kalau kita tidak jeli membacanya akan kecele.
16:70 – “Allah menciptakan kamu. Kemudian, Allah mewafatkan kamu (mengakhiri hidupmu di bumi ini), dan di antara kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling lemah, agar dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesunggunya Allah Maha Menge-tahui dan Mahakuasa.”
16:77 – “Dan kepunyaan Allahlah segala yang gaib di langit maupun di bumi. Dan, tidaklah perintah kebangkitan itu selain sekejap mata atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
16:78 – “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan, Dia memberimu pendengaran, peng-lihatan dan fuad agar kamu dapat bersyukur.”
Pertama, pada umumnya orang yang hidup di bumi ini berakhir dengan kematian. Tentu saja, ada yang benar-benar telah wafat, alias telah sempurna hidupnya, sehingga tidak dilahirkan kembali di bumi ini. Tapi, kebanyakan manusia itu dilahirkan kembali. Dalam bahasa ayat di atas dinyatakan sebagai “dikembalikan pada umur yang paling lemah”. Umumnya, kalimat ardzal al-‘umur pada ayat tersebut diartikan “tua-renta”. Sedangkan kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun yang pernah diketahuinya” diartikan dengan “pikun” atau pelupa karena sudah tua sekali.
Penerjemah biasanya tidak memahami bahasa Indonesia dengan benar. Mereka tidak menyadari bahwa “tua-renta” itu belum tentu lemah. Banyak orang di Indonesia ini yang umurnya sudah 80 tahun masih tampak lebih segar daripada yang berumur 40 tahun. Beberapa negarawan kita sudah berumur lebih dari 80 tahun, tapi masih berbicara tentang politik dan situasi negara kita dewasa ini secara kritis. Maka, jelas kalimat “dikembalikan pada umur yang paling lemah” itu tidak berarti tua-renta atau lanjut usia.
Kedua, kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun apa yang pernah dike-tahui sebelumnya” diartikan dengan “pikun”. Ini salah besar! Orang pikun itu pelupa. Mudah lupa terhadap apa yang diketahui atau dikerjakannya. Tapi, pikun itu masih ada yang diingat. Bukan tidak ingat sama sekali apa yang pernah diketahui, atau lost memory. Dan, pikun itu sifat yang ada pada orang tua yang telah lanjut usia di mana saja. Namun, tidak setiap orang yang lanjut usia itu pikun. Jadi, tidak mungkin bangsa Arab tidak punya khazanah untuk kata pikun. Dalam bahasa Arab, pikun itu mukharraf.
Jadi, kondisi tua-renta dan pikun itu tidak merupakan pemetaan satu-satu. Artinya, ada orang yang tua-renta tidak pikun, dan ada orang pikun yang masih muda usianya. Makanya, harus kita cari ayat-ayat yang menya-takan “tidak tahu sesuatu pun apa yang pernah diketahuinya” itu dalam kaitan yang lain. Ternyata, pada ayat 78 disebutkan bahwa kalimat tersebut terkait dengan pernyataan “dikeluarkan dari perut ibumu”. Artinya, “tidak tahu sesuatu pun” itu dimiliki oleh bayi yang baru dilahirkan. Dan, di ayat sebelumnya dijelaskan bahwa kondisi ini disebut kebangkitan! Dus, kebangkitan seseorang itu ada di bumi ini, yaitu keluar dari perut ibu.
Ya…, kebangkitan adalah kelahiran. Dan, ini cocok dengan makna bangkit itu sendiri. Yaitu, bangkit sebagai manusia kembali. Dengan adanya kebangkitan atau kelahiran itu, maka orang yang telah mati, dan tulang-belulangnya telah hancur, akan hidup kembali sebagai ciptaan yang baru yang disangkal oleh orang-orang Arab pra-Islam.
Maka, kiamat dalam pengertian kita selama ini sebenarnya kelahiran kembali. Inilah yang disebut reinkarnasi. Dan, kehidupan dunia yang kita alami saat ini adalah akhirat bagi kehidupan masa lalu. Siksa dan pahala yang dialami saat ini merupakan buah perbuatan pada kehidupan masa lalu. Namun Tuhan itu rahman dan rahim, sehingga manusia dapat melanjutkan perjalanannya untuk kembali kepada-Nya.
Jika pada kedua ayat tersebut masih samar-samar dan memerlukan kejelian dalam membacanya, maka pada Surah Yâ Sîn [36]: 68 yang biasa dibaca oleh orang Islam pada berbagai kesempatan, hal reinkarnasi itu lebih jelas lagi. Bunyi terjemahan ayatnya, “Dan barangsiapa yang Kami panja-ngkan hidupnya niscaya Kami kembalikan pada kejadiannya. Apakah mereka itu tidak memikirkannya?”
Perhatikan! Pemanjangan hidupnya di bumi ini niscaya diikuti dengan kembalinya pada kejadiannya. Yaitu, dilahirkan sebagai bayi! Tapi, meski sudah terang-benderang maknanya, hampir penerjemah Alquran standar memberikan catatan kaki bahwa itu dikembalikan menjadi lemah dan kurang akal. Jelas, ini orang yang ngawur! Mana ada panjang umur selalu diikuti dengan lemah dan kurang akal? Sepikun-pikunnya atau kurang akalnya orang tua, masih lebih cerdas daripada bayi. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa orang yang telah lanjut usianya belum tentu pikun. Beberapa kepala negara malah masih aktif memimpin, meski umurnya sudah di atas 80 tahun. Tetapi, banyak orang yang baru berusia 60 tahun sudah menunjukkan gejala kepikunan.
Apa arti dikembalikan pada “kejadian”. Bukankah kejadian manusia itu berawal dari seorang bayi? Bagaimana mungkin mereka memahami kejadian sebagi lemah dan kurang akal? Rupanya, mereka itu perlu dididik biologi, agar mereka memahami arti kejadian manusia hingga wafatnya. Mereka perlu diajari membaca kamus dan struktur kalimat bahasa Indonesia. Untuk apa? Agar kalau ada kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun” tidak diterjemahkan pikun. Bahasa untuk pikun itu ada di setiap bangsa. Karena, pikun merupakan fenomena yang menimpa orang tua atau lanjut usia.
Bahkan karena sesuatu gangguan, ada orang-orang yang kehilangan ingatan terhadap apa yang pernah diketahuinya. Mereka ini tidak terkait dengan batasan usia. Tapi, hal ini disebabkan oleh gangguan pada saraf otaknya. Ini kasus! Sehingga, hal semacam ini tidak dimasukkan dalam ayat. Maka, kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun” harus dicarikan kaitannya pada ayat yang lain. Ini yang namanya menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lainnya. Inilah penafsiran yang paling valid!
Kemudian, kalau kita melihat Surah Yâ Sîn di atas, ayat 68 itu ditutup dengan kalimat “apakah mereka tidak memikirkan”. Kalau kita dalam hidup sehari-hari ini menjumpai sesuatu yang lazim, maka kita tak perlu memikirkan maknanya. Kita baru memikirkan sesuatu jika kita ingin mengetahui makna di balik kejadian yang tampak itu.
Reinkarnasi dalam Hadis. Selain ayat-ayat Alquran, indikasi adanya reinkarnasi itu dapat kita temukan dalam beberapa Hadis. Di bawah ini saya cuplikkan beberapa Hadis yang ada kaitannya dengan reinkarnasi.
“Demi Tuhan yang jiwaku dalam genggaman-Nya, seandainya seseorang gugur di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi lalu gugur lagi, kemudian dihidupkan lagi lalu gugur lagi, niscaya ia tidak dapat masuk surga sebelum melunasi hutangnya.” (H.R. Nasai)
“Orang yang berhutang itu dibelenggu dalam kuburnya, tiada yang dapat melepaskannya selain ia membayar hutangnya.” (H.R. Dailami)
“Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak dapat ditutupi oleh salat, puasa, haji dan umrah. Yang dapat menutupinya hanyalah duka-cita (kesulitan) dalam hidup mencari rezeki.” (H.R. Ibnu Asakir)
Pertama, meskipun gugur berkali-kali tapi bilamana belum melunasi hutangnya, ia tak akan masuk surga. Perhatikan, kata gugur berkali-kali dan hutang. Secara sederhana umat Islam menerjemahkan hutang itu dalam arti hutang harta-benda. Tidak sepenuhnya benar! Yang jelas, hutang harta-benda itu bagian dari hutang perbuatan (karma).
Dan lagi, pada kalimat di atas tidak dinyatakan “kecuali jika ada hutang, keluarganya melunasinya”. Kalimat ini tidak ada. Yang ada, justru menegaskan bahwa yang gugur itulah yang melunasinya. Jadi, hutang itu tidak dapat dilunasi orang lain. Seseorang tidak menanggung beban atau dosa orang lain. Setiap orang akan menanggung dosanya sendiri. Itulah yang dijelaskan di berbagai ayat Alquran.
Kedua, hidup susah dalam mencari rezeki adalah cara untuk menutupi dosa-dosa. Coba, dosa darimana? Kalau hidup sekarang ini merupakan hidup yang pertama kali, maka tidak adil kiranya bila ada orang yang dilahirkan menderita di kolong jembatan. Padahal, Tuhan sudah menyatakan dengan tegas bahwa Dia tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.
Bayak sekali di dunia ini orang yang hidupnya menderita semenjak dilahirkan di bumi ini. Menurut Hadis di atas, penderitaan itu sebenarnya untuk menutupi dosa-dosanya. Dan, dosa-dosa itu sendiri tidak dapat ditutupi oleh ibadah formal. Dosa yang tidak bisa dihapus dengan cara salat, puasa, umrah dan haji. Ini tentu saja dosa yang berat. Sehingga perbuatan ibadahnya pun tak bisa menghapusnya. Dosanya hanya hapus bila dia dilahirkan kembali di bumi ini sebagai orang yang hidup menderita!
Oleh : Achmad Chodjim
Referensi : Akademi Makrifat

Read More
Sabtu, 27 Oktober 2012 0 komentar

BUDDHA ADALAH UTUSAN AGUNG DARI ALLAH ?


KESAMAAN KEROHANIAN DAN ETIKA
ANTARA
ISLAM DAN BUDDHISME

Oleh
Reza Shah Kazemi
Diperkenalkan oleh :
Y.A.M. Dalai Lama Yang ke XIV
Y.A.M Putera Ghazi bin Muhammad
Profesor Dr. Hashim Kamali
Kandungan
Prakata oleh Yang Amat Mulia Dalai Lama Yang ke-XIV
Pengenalan kepada Tapak Persamaan oleh Yang Amat Mulia Putera Ghazi bin Muhammad
Kata Pengantar oleh Profesor Dr Hashim Kamali
Bahagian Pertama ― Pemandangan Latar 21
Melampaui yang Tersurat kepada Semangat 22
Sekilas Pandang pada Sejarah 29
Asas-asas Dialog Menurut al-Qur‘an 34
Buddha sebagai Rasul 36
Pemberitahuan dari Atas atau dari Dalam? 43
Dalai Lama dan Dinamika Dialog 48
Bahagian Kedua ― Keesaan: Penyebut Sepunya Tertinggi 54
Memikirkan Yang Esa 54
Yang Tidak Dilahirkan 55
Dialektik Buddhisme 59
Shu>nya dan Shaha>da 68
Cahaya Transendensi 70
Al-S}amad dan Dharma 71
Wajah Allah 75
Fana>‘ dan Bukan Dualiti 78
Baqa>‘ dari ‗Yang Tercerahkan‘ 80 3
Menyembah Yang Maha Esa 88
Buddha dalam terang Dharma 89
Mengingati Allah 94
Tariki dan Tawakkul 97
Kunci Keselamatan 100
Gambar-gambar Buddha, Selawat atas Nabi 104
Bahagian Ketiga ― Etika Pemisahan Dan Belas Kasihan 111
Pemisahan: Anicca dan Zuhd 112
Penderitaan 112
Keduniaan 114
Politheisme Halus 117
'Tuhan‘ Keinginan 120
Cinta Belas Kasihan: Karuna> dan Rahma 126
Sumber Belas Kasihan 130
Keesaan dan Kasih Sayang 133
Rahma sebagai Pencipta 139
Penutup ― Tapak Persamaan Kewalian 147
Biografi Penyumbang 150 4
PRAKATA
Oleh Yang Amat Mulia Dalai Lama Yang ke-XIV
Buku ini adalah sebuah buku penting, perintis dalam usaha untuk mencari kesamaan antara ajaran-ajaran Islam dan Buddhisme. Adalah harapan saya bahawa di atas tapak kesamaan ini, para penganut kedua tradisi akan dapat menghargai segala kebenaran kerohanian yang terkandung pada jalan-jalan mereka yang berbeza dan dari sini membina dasar untuk menghormati amalan dan kepercayaan masing-masing. Ini mungkin tidak sering berlaku sebelum ini, kerana sangat sedikit kesempatan untuk mendapat persefahaman yang sebenar antara kedua tradisi agung ini. Buku ini cuba untuk memperbetulkan keadaan.
Sang Buddha mengajarkan bahawa setiap makhluk berperasaan memiliki akal atau kesedaran yang sifat asasnya adalah murni, tidak tercemar oleh pemesongan mental. Kita merujuk kepada sifat ini sebagai sifat-Buddha atau benih pencerahan. Dari sudut pandang ini, setiap makhluk berupaya untuk mencapai kesempurnaan. Dan juga, kerana sifat akal adalah murni, kami percaya bahawa semua aspek negatif pada akhirnya akan dapat dihapuskan darinya. Apabila sikap mental kita positif, tindakan-tindakan negatif dari tubuh dan ucapan akan berhenti dengan sendirinya. Kerana kita percaya bahawa setiap makhluk berperasaan mempunyai potensi tersebut, semua makhluk adalah sama; setiap orang berhak mendapat kebahagiaan dan mengatasi penderitaan. Cara hidup Buddhis pada keseluruhannya adalah berdasarkan prinsip menghormati kesejahteraan sesama makhluk. Ianya merupakan sistem yang didasarkan pada amalan belas kasih sayang.
Rakan-rakan Muslim saya telah menjelaskan kepada saya bahawa kerana Allah bersifat penyayang dan penuh belas kasihan, setiap Muslim yang taat adalah pada hakikatnya menyerahkan diri sepenuhnya kepada ideal kasih sayang yang meliputi sekelian alam. Ini bermakna bahawa kasih sayang Tuhan melimpah melalui segala tindakan orang-orang yang beriman. Amalan seperti ini jelas merupakan cara untuk memurnikan pemikiran dan nampaknya selari dengan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha sendiri, betapa pentingnya menjalani hidup dengan cara yang beretika lagi penuh belas kasih sayang. Dengan demikian, dari sudut pandang Buddhisme, amalan Islam adalah jelas sebagai suatu jalan kerohanian yang boleh mencapai keselamatan.
Jelas sekali bahawa kasih sayang merupakan intipati ajaran agama, baik Islam maupun Buddhisme, seperti juga ia merupakan intipati ajaran tradisi keagamaan agung yang lain. Adalah harapan saya bahawa pengiktirafan prinsip asas yang dikongsi bersama ini akan menjadi asas bagi penganut-penganut agama Islam dan Buddha mengatasi rasa kewaspadaan terhadap satu sama lain lalu memupuk persahabatan yang bermanfaat berdasarkan sikap saling mempercayai. Sudah sampai masanya bagi para penganut agama-agama utama dunia bekerja sama untuk mewujudkan dunia yang lebih damai serta penuh dengan kasih sayang.
Saya ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada rakan saya Putera Ghazi bin Muhammad yang telah beberapa kali menyambut saya di Jordan dan yang, sebagai hasil dari perbualan-perbualan kami, kemudian telah memulakan projek yang mengkagumkan ini. Perbualan-perbualan dengan beliau dan rakan-rakan Muslim yang lain mengukuhkan keyakinan saya akan nilai yang sangat besar menggalakkan dialog antara tradisi-tradisi agung kerohanian di dunia. Saya berdoa agar usaha ini membawa kejayaan serta kesan baik yang berpanjangan.
21 Januari 2010
=================================================================
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Selawat dan Salam ke atas Nabi Muhammad
Pengenalan kepada Tapak Persamaan
Oleh Yang Amat Mulia Putera Ghazi bin Muhammad
Agama-agama Dunia dan Keamanan Dunia
Setakat tahun 2010 Masihi bersamaan 1431 Hijriah, sekurang-kurangnya 80% daripada penduduk dunia yang berjumlah 6.7 bilion manusia tergolong ke dalam hanya empat daripada begitu banyak agama di dunia. Empat daripada lima orang di atas bumi adalah sama ada Kristian (32%), Muslim (23%), Hindu (14%) atau Buddhis (12%). Oleh kerana agama (dalam bahasa Inggeris, religion, dari bahasa Latin ‗re-ligio‘, bererti ‗mengikat semula [manusia kepada Langit]) adalah kuasa yang paling kuat yang membentuk sikap dan perilaku manusia―pada teori kalau tidak pada amalan―maka secara logiknya untuk mewujudkan kedamaian dan keharmonian di dunia harus ada keamanan dan keharmonian antara agama sebagaimana adanya, dan khususnya antara empat agama terbesar dunia.
Pada tarikh 13 Oktober 2007, seramai 138 orang ulama dan intelektual terkemuka dunia Islam (termasuk tokoh-tokoh seperti Mufti-mufti Agung Mesir, Syria, Jordan, Oman, Bosnia, Rusia, dan Istanbul) telah menghantar sepucuk Surat Terbuka kepada para pemimpin agama Kristian. Ianya ditujukan kepada para pemimpin gereja-gereja dan denominasi Kristian dari seluruh dunia, bermula dengan Paus Benedict XVI. Pada dasarnya, Surat Terbuka itu mengingatkan, berdasarkan ayat-ayat dari al-Qur‘an dan Alkitab (Bible), bahawa agama Islam dan Kristian sama-sama mengakui, pada intinya, suruhan ‗emas‘ berkembar yang amat penting, iaitu mengasihi Allah dan mengasihi jiran. Berdasarkan tapak persamaan ini, surat itu menyeru diwujudkan keamanan dan keharmonian antara umat Kristian dan Islam di seluruh dunia.
Surat Terbuka itu menyebabkan terbentuknya gerakan keamanan global yang bersejarah antara umat Islam dan Kristian secara khusus (seperti yang dapat dilihat pada www.acommonword.com), dan sementara ianya tidak mengurangkan peperangan antara Muslim dan Kristian atau menamatkan saling kebencian dan prasangka, namun ianya telah membawa banyak kebaikan, dengan izin Allah, dan nampak telah menukar nada antara pemimpin-pemimpin agama Islam dan Kristian dan agak memperdalam pemahaman yang benar terhadap agama masing-masing dengan cara-cara yang signifikan. Inisiatif A Common Word (Satu Kalimah Bersama) itu sudah tentu bukan sendirian di atas pentas dunia dalam usaha untuk memperbaiki hubungan antara orang-orang yang beragama (kita mengingatkan kepada Perikatan Ketamadunan, inisiatif antara agama yang dicetuskan oleh Yang Amat Mulia Raja Abdullah dari Arab Saudi dan juga pidato Presiden Obama di Kaherah pada tahun 2009), tapi walaubagaimana pun kami anggap ianya signifikan bahawa, misalnya, menurut Pew Global Report Oktober 2009 peratusan rakyat Amerika yang mempunyai pandangan negatif terhadap Islam adalah 53% berbanding dengan 59% hanya beberapa tahun lalu. Maka adalah tidak mustahil untuk mengurangkan ketegangan antara dua komuniti agama (walaupun pertikaian dan peperangan berterusan dan malahan telah bertambah dalam tempoh yang sama) apabila para pemimpin agama dan intelektual berhubung antara satu sama lain dengan membawa mesej agama yang benar.
Maka dengan memikirkan semua hal ini dan selepas perbincangan terperinci dengan Yang Amat Mulia Dalai Lama ke-14, kami mencetuskan inisiatif ini. Kami menugaskan salah seorang Felow Akademi Diraja, Dr Reza Shah-Kazemi―seorang pakar yang sangat dihormati dalam bidang tasawuf dan penulis terkemuka dalam kajian perbandingan agama―untuk menulis sebuah esei tentang perkara ini, yang kemudiannya kami minta kepadanya supaya memperluaskannya menjadi risalah ini. Kami berharap dan berdoa bahawa buku ini akan diberkati dengan kesan global antara Muslim dan Buddha yang sama baik seperti kesan Satu Kalimah Bersama Antara Kami dengan Kamu di antara umat Islam dan Kristian.
Mengapa kita perlu 'Tapak Persamaan‘?
Tujuan dan matlamat khusus penugasan itu adalah untuk mengenalpasti  'Tapak Persamaan‘ kerohanian (yang sahih berdasarkan teks-teks suci agama Islam dan Buddhisme) antara penganut-penganut agama Islam dan Buddha yang akan membolehkan kedua-dua komuniti saling mengasihi dan menghormati, tidak hanya sebagai manusia umumnya, tetapi juga sebagai Muslim dan Buddhis khususnya. Dengan kata lain, kami berharap untuk mengetahui dan memahami apa yang ada dalam kedua-dua agama kita―walaupun terdapat begitu banyak perbezaan-perbezaan doktrin, theologi, hukum hakam dan lain-lain yang tidak serasi dan tidak terjambatan yang kita tidak boleh dan tidak harus nafikan―di mana kita mempunyai persamaan yang akan membolehkan kita mengamalkan sikap lebih mengasihi dan menghormati satu sama lain justru kerana kita masing-masing beragama Islam dan Buddha, dan bukan sekadar kerana kita adalah umat manusia. Kami percaya bahawa, walaupun terdapat bahaya sinkretisme, mencari Tapak Persamaan dalam bidang agama adalah bermanfaat, kerana umat Islam sekurang-kurangnya tidak akan dapat sepenuh hati merasa antusias terhadap sebarang etika yang tidak menyebut Allah atau merujuk kembali kepada-Nya. Kerana Allah mengatakan dalam Kitab Suci al-Quran:
"Dan sesiapa yang berpaling ingkar dari ingatan dan petunjukKu, maka sesungguhnya adalah baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan himpunkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta." (al-Qur‘an, Ta Ha, 20:124)
Dan juga:
"Dan jadikanlah dirimu sentiasa berdamping rapat dengan orang-orang yang beribadat kepada Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang, yang mengharapkan keredaan Allah semata-mata; dan janganlah engkau memalingkan pandanganmu daripada mereka hanya kerana engkau mahukan kesenangan hidup di dunia; dan janganlah engkau mematuhi orang yang Kami ketahui hatinya lalai daripada mengingati dan mematuhi pengajaran Kami, serta ia menurut hawa nafsunya, dan tingkah-lakunya pula adalah melampaui kebenaran." (al-Qur‘an, Al-Kahf, 18:28)
Hal ini menjelaskan mengapa kami tidak sekadar mencadangkan suatu versi Hukum Utama Kedua ('Kasih Sayang kepada Jiran Tetangga‘) – pelbagai versi yang memang boleh dijumpai dalam teks-teks Islam dan Buddhisme yang sama (seperti juga ianya boleh didapati dalam kitab-kitab suci Yahudi, Kristian, Hindu, Konfusianisme dan Taoisme, di antara agama-agama lain): kerana tanpa Hukum Utama Pertama ('Kasih kepada Tuhanmu‘), Hukum Kedua semata-mata mungkin menjadi sesuatu yang secara rohaniah kosong tanpa kebenaran, dan dengan demikian berisiko menjadi sentimentalisme cetek tanpa kebajikan dan kebaikan yang sebenar; maka berisiko pula menjadi etika sekular yang mengambil sikapnya mengikut ragam hati dan perasaan yang kita timbulkan sewenang-wenangnya dalam keadaan-keadaan tertentu, tanpa memerlukan apa-apa dari jiwa, tanpa sebarang risiko, tiada mengubah apa-apa, memperdayakan semua.
Di sisi lain, salah satu ironi terbesar dari ramai pengamal agama adalah bahawa walaupun agama mereka menuntut kasih sayang dan sikap menghormati di kalangan manusia, mereka memandang rendah terhadap orang lain (dan enggan bersikap kasih sayang dan hormat terhadap mereka) jika mereka tidak menganuti agama yang sama. Maka kecintaan terhadap agama mereka sendiri menjadikan mereka kurang mengasihani orang lain, bukan membuat mereka lebih mengasihani orang lain! Hal ini nampak kepada saya sebagai seorang muslim begitu ironis sekali, kerana di dalam kesemua empat mazhab fiqah ahli Sunnah, dan juga dalam tradisi pemikiran golongan-golongan Syiah dan Ibadhi ― ertinya, dalam setiap aliran tradisi pemikiran Islam ― pilihan agama seseorang bukan alasan untuk bermusuh dengan mereka (jika mereka tidak terlebih dahulu melahirkan permusuhan terhadap Islam). Sebaliknya, umat Islam adalah dikehendaki untuk berperilaku kasih sayang dan adil terhadap semua orang, baik yang beriman mahupun yang tidak beriman. Allah s.w.t berfirman dalam al-Qur‘an:
"Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang yang beriman: hendaklah mereka memaafkan (kejahatan dan gangguan) orang-orang yang tidak menaruh ingatan kepada hari-hari (pembalasan yang telah ditentukan) Allah; kerana Allah akan memberi kepada satu-satu puak: balasan yang patut dengan apa yang mereka telah usahakan. Sesiapa yang mengerjakan amal soleh, maka faedahnya akan terpulang kepada dirinya sendiri; dan sesiapa yang berbuat kejahatan, maka bahayanya akan menimpa dirinya sendiri; kemudian kamu akan dikembalikan kepada Tuhan kamu." (al-Qur‘an, Al-Jathiyah, 45:14-15)
Hal yang sama dijelaskan dalam petikan berikut dari al-Qur‘an yang bermula dengan mengutip doa orang-orang yang beriman dari kalangan umat terdahulu:
"Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau jadikan pendirian dan keyakinan kami terpesong kerana penindasan orang-orang kafir, dan ampunkanlah dosa kami wahai Tuhan kami; sesungguhnya Engkaulah sahaja Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.‘/ Demi sesungguhnya! Adalah bagi kamu pada bawaan Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya itu contoh ikutan yang baik, iaitu bagi orang yang sentiasa mengharapkan keredaan Allah dan (balasan baik) hari akhirat. Dan sesiapa yang berpaling daripada mencontohi mereka, (maka padahnya akan menimpa dirinya sendiri), kerana sesungguhnya Allah Dia lah Yang Maha Kaya, lagi Maha Terpuji./ Semoga Allah akan mengadakan perasaan kasih sayang antara kamu dengan orang-orang yang kamu musuhi dari kerabat kamu itu. Allah Maha Kuasa (atas tiap-tiap sesuatu), dan Allah Maha Pengampun lagi Maha mengasihani./Allah tidak melarang kamu daripada berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu kerana agama (kamu), dan tidak mengeluarkan kamu dari kampung halaman kamu; sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil." (al-Qur‘an, Al-Mumtahinah, 60:5-8)
Dengan demikian umat Islam harus pada prinsipnya bersikap belas kasih sayang serta hormat kepada orang-orang yang tidak memerangi atau mengusir mereka dari rumah-rumah mereka (ini merupakan syarat dalam Islam bagi mengharuskan peperangan untuk mempertahankan diri). Orang-orang Islam tidak seharusnya menjadikan sikap kasih sayang mereka bergantung hanya kepada kasih sayang orang lain, namun bagaimanapun secara psikologi hampir tak dapat dielakkan bahawa orang akan lebih menghargai rakan-rakan mereka ketika mereka tahu bahawa rakan-rakan mereka itu juga cuba untuk menunjukkan kasih sayang dan perasaan hormat kepada semua. Setidak-tidaknya inilah salah satu andaian utama kami dalam menugaskan penulisan buku ini.
Tapak Persamaan
Beralih kepada buku ini sendiri, kami fikir tidak salah untuk mengatakan bahawa ianya membuktikan, dengan limpah kurnia Allah s.w.t, secara umumnya suatu karya kesarjanaan yang menakjubkan, yang memaparkan betapa dalamnya kefahaman penulis serta kebesaran jiwa beliau. Ini tidak bermakna bahawa setiap Muslim ― atau setiap penganut agama Buddha ― akan menerima, atau bahkan memahami, segala sesuatu yang diujarkan penulis, namun dapat dikatakan secara saksama bahawa buku ini umumnya adalah normatif dari sudut pandang Islam (terutama kerana ianya sengaja bersandarkan al-Qur‘an, Hadis Nabawi dan wawasan dari ulama besar tasawuf Abu Hamid Al-Ghazali) dan juga mengkaji semua aliran-aliran utama pemikiran agama Buddha (seperti yang saya memahaminya). Di samping itu, buku ini menunjukkan tanpa sebarang keraguan yang munasabah akan beberapa persamaan dan kesejajaran antara Islam dan Buddhisme, khususnya seperti berikut:
(1) Kepercayaan pada Kebenaran Hakiki (Al-Haqq) yang juga Maha Esa, Realiti Mutlak, Sumber Rahmat dan Petunjuk kepada umat manusia.
(2) Kepercayaan bahawa setiap jiwa adalah bertanggungjawab pada Hari Akhirat kelak atas prinsip keadilan, dan bahawa prinsip ini berakar pada sifat tabii Realiti Mutlak.
(3) Kepercayaan pada kewajipan moral yang jelas supaya bersifat rahmah, iaitu kasihan belas dan menyayangi sekalian makhluk, kalau tidak pun percaya pada fungsi kosmogonik dan eskatologik sifat rahmah (maksud kami, kepercayaan bahawa alam ini dicipta dengan Rahmah, dan dengan Rahmah pula kita mendapat keselamatan dan kesejahteraan).
(4) Kepercayaan bahawa umat manusia mampu untuk mendapat ilmu pengetahuan supra-rasional, ilmu yang merupakan punca untuk mendapat keselamatan di Akhirat dan juga untuk mendapat pencerahan dalam kehidupan dunia ini.
(5) Kepercayaan pada kemungkinan mencapai maqam kewalian bagi umat manusia, dan keyakinan bahawa semua orang harus bercita-cita untuk mencapai maqam kewalian ini.
(6) Kepercayaan pada keperluan melakukan amalan kerohanian dan keberkesanannya: sama ada ianya dalam bentuk bermunajat, bermeditasi atau pun berzikir.
(7) Kepercayaan pada keperluan memisahkan diri daripada keduniaan, daripada nafsu dan menurutkan segala keinginannya.
Tentang Buddha sendiri tidak menyebutkan Allah sebagai Pencipta, ini pasti merupakan suatu perbezaan mutlak antara orang-orang Islam dan para penganut agama Buddha, tetapi jika difahami bahawa Yang Esa adalah Allah, dan bahawa Buddha berdiam diri mengenai Yang Esa sebagai Pencipta bukan bermakna penafian sebagaimana adanya, maka adalah mungkin untuk mengatakan bahawa perkara-perkara di atas sudah tentu merupakan `Tapak Persamaan‘ yang substansial antara Islam dan Buddhisme, walaupun terdapat banyak perbezaan yang tak terjambatan antara keduanya. Tentu saja, perkara-perkara tersebut boleh diambil sebagai merupakan atau `menetapkan‘ inti dari agama  dan jangan `berpecah belah‘ di dalamnya dan ini adalah tepat seperti apa yang Allah firmankan dalam al-Qur‘an sebagai mesej terpenting dari segala Rasul-Rasul yang diutuskan oleh Allah:
"Allah telah menerangkan kepada kamu – di antara perkara-perkara agama yang Dia tetapkan hukumnya – apa yang telah diperintahkanNya kepada Nabi Nuh, dan yang telah Kami (Allah) wahyukan kepadamu (wahai Muhammad), dan juga yang telah Kami perintahkan kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Musa serta Nabi Isa, iaitu: Tegakkanlah pendirian agama, dan janganlah kamu berpecah belah atau berselisihan pada dasarnya. Berat bagi orang-orang musyrik (untuk menerima agama tauhid) yang engkau seru mereka kepadanya. Allah memilih serta melorongkan sesiapa yang dikehendakiNya untuk menerima agama tauhid itu, dan memberi hidayah petunjuk kepada agamaNya itu sesiapa yang rujuk kembali kepadaNya (dengan taat)." (al-Qur‘an, Al-Syura, 42:13)
Boleh juga dikatakan bahawa perkara-perkara ini juga membentuk substansi Dua Hukum Utama: maka keyakinan terhadap wujudnya Satu Zat Kebenaran yang Mutlak, dan kesungguhan berjuang untuk melepaskan diri dari kongkongan dunia, ego dan tubuh badan melalui amalan-amalan kerohanian, serta berjuang untuk mencapai tahap kewalian (sekaligus mencapai ilmu pengetahuan di tahap supra-rasional) mungkin dianggap sebagai cara kebalikan untuk mencapai Hukum Utama yang Pertama, sedangkan tuntutan supaya bersikap belas kasihan dan kasih sayang jelas menunjukkan Hukum Kedua walaupun menggunakan kata-kata yang berbeza, kalau tidak pun Hukum Utama Pertama juga (di mana keabadian jiwa ditunjukkan dalam kedua-dua Hukum Utama perintah dengan penamaan keseluruhannya sebagai `hati‘). Dan Tuhanlah Yang Maha Mengetahui.
Ahli Kitab
Semua yang diperkatakan di atas membawa kami sebagai Muslimin untuk membuat kesimpulan bahawa Buddha, yang petunjuk asas daripadanya telah pada prinsipnya menjadi ikutan oleh satu persepuluh penduduk bumi ini sejak 2,500 tahun yang lalu, adalah kemungkinan besar ― dan Tuhan Maha Mengetahui ― salah seorang utusan agung dari Allah, walaupun ramai orang Islam mungkin tidak dapat menerima segala sesuatu dalam Kanon Pali sebagai tulen berasal dari Buddha. Kerana walaupun nama Buddha tidak disebutkan dalam al-Qur‘an, namun Allah telah dengan jelas berfirman bahawa setiap kaum telah diutuskan ‗pemberi amaran‘ dari kalangan mereka dan bahawasanya memang wujud ramai para rasul yang tidak disebutkan namanya dalam al-Qur‘an:
"Sesungguhnya Kami mengutusmu dengan (Agama) yang benar, sebagai pembawa berita gembira (kepada orang-orang yang beriman) dan pemberi amaran (kepada orang-orang yang ingkar); dan tidak ada sesuatu umat pun melainkan telah ada dalam kalangannya dahulu seorang Rasul pemberi ingatan dan amaran." (al-Qur‘an, Surah Fatir, 35:24)
"Dan demi sesungguhnya! Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelummu; di antara mereka ada yang Kami ceritakan perihalnya kepadamu, dan ada pula di antaranya yang tidak Kami ceritakan kepada kamu. Dan tidaklah harus bagi seseorang Rasul membawa sesuatu keterangan atau menunjukkan sesuatu mukjizat melainkan dengan izin Allah; (maka janganlah diingkari apa yang dibawa oleh Rasul) kerana apabila datang perintah Allah (menimpakan azab) diputuskan hukum dengan adil; pada saat itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada perkara yang salah." (al-Qur‘an, Al-Ghafir, 40:78)
Maka dengan itu kami merasakan bahawa langkah pemerintah-pemerintah Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah dulu yang mengiktiraf penganut-penganut agama Buddha sebagai Ahli Kitab adalah tepat. Inilah juga sebenarnya sikap yang diambil selama beratus-ratus tahun oleh berjuta-juta orang Muslim biasa terhadap jiran-jiran mereka yang kuat beragama Buddha, walau apa pun yang diajarkan oleh para ulama akan perbezaan aqidah antara kedua-dua agama.
Sebagai catatan yang bersifat lebih peribadi, izinkan saya menyebut di sini bahawa saya telah sempat membaca teks-teks Buddha Zen pada usia saya lebih muda sewaktu saya belajar di Barat (seperti beberapa karya tulisan D.T.Suzuki dan seperti karya Eugen Herrigel yang penting dan berpengaruh, Zen in the Art of Archery). Saya sangat menghargai semua itu, namun tidak berjaya menempatkan Buddhisme sepenuhnya dalam konteks kepercayaan agama Islam yang saya anuti. Baru-baru ini, saya telah dapat melihat dalam diri saya suatu kesan apabila bertemu dengan YAM Dalai Lama. Ianya begini: saya telah dapat melakukan kewajipan solat lima waktu dengan lebih khusyuk, serta pada sepanjang masa di luar solat saya lebih mampu memantau fikiran sendiri, dan lebih mudah menghalang atau mengawal gerak hati saya sendiri. Saya tidak merasa pula apa-apa keinginan untuk pergi belajar lebih lanjut tentang Buddhisme, seperti yang mungkin diduga, tetapi saya tetap sedar bahawa ada sesuatu yang positif telah berlaku. Saya telah bertanya kepada teman saya Syaikh Hamza Yusuf Hanson (yang saya tahu telah banyak membaca tentang agama Buddha) mengapa pada fikirannya ini berlaku, dan beliau dengan bijaksana menjawab bahawa ini adalah kerana: ‗Para penganut Buddha adalah pewaris-pewaris latihan kerohanian yang amat berkesan.‘ Maka oleh kerana itu saya secara peribadi amat berpuas hati mengetahui tentang kewujudan secara jelas Tapak Persamaan yang mendasari kedua-dua agama Islam dan Buddha. Sesungguhnya, sebagai seorang muslim saya berasa amat lega dan gembira ― kalau boleh saya katakan begitu ― mengetahui bahawa seperdelapan dunia yang bukan Muslim menganut Buddhisme dan menjadikan amalan kasih sayang dan rahmat sebagai intipati kehidupan mereka (sekurang-kurang secara teori). Dan saya berharap agar buku ini akan mendorong orang-orang Islam dan Buddhis bersaing dan berlumba-lumba dengan mengamalkan kasih sayang dan rahmat yang merupakan intipati ajaran agama masing-masing. Allah s.w.t. berfirman dalam al-Qur‘an:
"Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab (al-Qur‘an) dengan membawa kebenaran, untuk mengesahkan benarnya Kitab-kitab Suci yang telah diturunkan sebelumnya dan untuk memelihara serta mengawasinya. Maka jalankanlah hukum di antara mereka (Ahli Kitab) itu dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (kepadamu), dan janganlah engkau mengikut kehendak hawa nafsu mereka (dengan menyeleweng) dari apa yang telah datang kepadamu dari kebenaran. Bagi tiap-tiap umat yang ada di antara kamu, Kami jadikan (tetapkan) suatu Syariat dan jalan agama (yang wajib diikuti oleh masing-masing). Dan kalau Allah menghendaki nescaya Dia menjadikan kamu satu umat (yang bersatu dalam agama yang satu), tetapi Ia hendak menguji kamu (dalam menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada kamu. Oleh itu berlumba-lumbalah kamu membuat kebaikan (beriman dan beramal soleh). Kepada Allah jualah tempat kembali kamu semuanya, maka Dia akan memberitahu kamu apa yang kamu berselisihan padanya." (al-Qur‘an, Al-Ma'idah, 5:48)
Tapak Persamaan Terdahulu?
Amat tidak kena kalau kita tidak menyebut bahawa, walaupun buku ini mungkin merupakan salah satu percubaan besar yang pertama — kalau tidak pun yang paling awal — di zaman moden kita ini untuk melakukan perbandingan kerohanian antara Buddhisme sebagaimana adanya dan Islam sebagaimana adanya, telah pun terdapat beberapa perbincangan intelektual dan kerohanian yang amat cemerlang dan serius pada masa lalu antara Islam dengan ‗TigaAjaran (Agung) Cina‘ iaitu (Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme).
Ini dibuktikan khususnya dengan karya-karya oleh orang-orang keturunan Cina asli (‗Han Kitab‘) pada kurun ke-16, 17 dan 18, terutamanya oleh dua orang tokoh iaitu Wang Daiyu (ca. 1570-1660 M) dan Liu Zhi (ca. 1670–1724 M). Kitab ini baru saja ditemui dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggeris (ironisnya, ianya boleh dikatakan tidak dikenali langsung dalam Bahasa Arab dan Bahasa Cina moden) oleh Professor William Chittick, Professor Sachiko Murata dan Professor Tu Weiming. Setakat ini pasukan sarjana ini telah menghasilkan dua buah buku yang sungguh berpengaruh:
(1) Chinese Gleams of Sufi Light: Wang Tai-yü‘s ‗Great Learning of the Pure and Real‘ and Liu Chih‘s ‗Displaying the Concealment of the Real Realm‘ (State University of New York Press, 2000);
(2) The Sage Learning of Liu Zhi: Islamic Thought in Confucian Terms (Cambridge, MA, Harvard University Asia Centre, 2009).
Mereka juga dikatakan sedang melakukan kajian terhadap karya Wang Daiyu The Real Commentary on the True Teaching (terbitan pertamanya pada tahun 1642 M). Karya-karya ini merupakan sumber penting bagi menjalin saling persefahaman antara China dan Islam, dan bagi para sarjana yang berminat untuk lebih mendalami bidang perbandingan kerohanian antara Islam dan Buddhisme (dan juga Konfusianisme dan Taoisme) inilah tempat bermula yang paling baik. Kami berharap karya-karya yang amat berharga ini akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan Bahasa Cina Moden dan disebarkan seluas-luasnya.
Apabila kita menggunakan sepenuhnya kebijaksanaan zaman silam, serta menggabungkannya dengan ilmu pengetahuan zaman sekarang, kita menjadi lebih bersedia menghadapi segala ketidakpastian hidup masa hadapan.
Dan segala puji-pujian bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Segala pandangan yang dikemukakan di atas adalah semata-mata pandangan peribadi dan persendirian Putera Ghazi dan tidak mewakili pandangan kerajaan dan rakyat Jordan dengan cara apa pun jua; dan juga tidak bertujuan untuk menyentuh atau dikaitkan dengan sebarang isu politik dalam bentuk apa sekalipun.
Yang Amat Mulia Putera Ghazi bin Muhammad
Mac 2010

referensi : Akademi Makrifat

Read More
Jumat, 26 Oktober 2012 0 komentar

Selamat Datang

Me