ISLAM : REINKARNASI??
Kata
“reinkarnasi” asalnya dari kata re+in+carnis. Kata Latin carnis berarti daging.
Incarnis artinya mempunyai bentuk manusia. Sedangkan reinkarnasi adalah
masuknya jiwa ke dalam tubuh yang baru. Jadi, jiwanya adalah jiwa yang sudah
ada, tapi jasadnya baru. Maka, reinkarnasi juga dapat disebut kelahiran
kembali. Kondisi ini disebut pula sebagai migrasi jiwa. Artinya, jasad lama
ditinggalkan alias mati, dan pada suatu kesempatan jiwa tersebut masuk ke dalam
jasad baru, alias menjadi bayi kembali. Dalam bahasa Inggris reinkarnasi
disebut sebagai reborn atau reembodiment.
Bagi agama-agama
di Timur, agama-agama yang tumbuh di India, Tibet, Cina, Jepang, dan di
Kepulauan Nusantara; reinkarnasi bukan lagi sebagai hal yang aneh. Reinkarnasi
bukan dipahami sebagai kepercayaan atau keimanan, tapi sebagai hukum alam.
Bagaimana dengan
reinkarnasi di Dunia Barat? Sumber dasar filsafat Barat adalah budaya Yunani
dan Romawi. Pada kedua budaya tersebut, reinkarnasi diterima sebagai
kepercayaan. Di antara filsuf Yunani kuno, Plato yang hidup pada abad ke 5–4
seb. M, percaya bahwa jiwa tidak pernah mati, dan mengalami reinkarnasi
berkali-kali. Lalu, kapan reinkarnasi itu berakhir? Ya, segala sesuatu pasti
berakhir. Menurut agama Hindu, reinkarnasi berakhir bila sang manusia mengalami
moksa. Menurut agama Buddha kelahiran kembali tak akan terjadi lagi bila roda
samsara telah berhenti. Sang Jiwa selanjutnya ke alam nirwana.
Tujuan Hidup dan
Mati Menurut Ayat-ayat Alquran
Sebagai seorang
muslim tentu saya akan menguraikan reinkarnasi ini berdasarkan dalil-dalil
Alquran dan Hadis. Dan, dalil-dalil ini tergolong ayat-ayat mutasyabihat.
Ayat-ayat yang perlu dipahami maknanya dengan seksama. Oleh kalangan awam
ayat-ayat ini biasanya dilepas begitu saja, dan tidak ada usaha memahaminya.
Padahal, Alquran telah memerintahkan pembacanya untuk menggunakan akal atau
pikiran untuk dapat mengerti makna yang tersembunyi dibalik makna literalnya.
Marilah kita
simak ayat QS al-Mulk [67]: 2.
Alladzî khalaqa
al-mawta wa al-hayâta li yabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalâ wa huwa al-‘azîz
al-ghafûr.
"Dia yang
menciptakan kematian dan kehidupan. Dengan cara itu Dia mendidik dan melatihmu,
dan untuk memberikan nilai bagi siapa yang lebih baik amalannya. Dan, Dia itu
Maha Perkasa dan Maha Melindungi."
Pertama, mati dan
hidup itu diciptakan. Hal semacam ini sering luput dari pemahaman. Dikiranya,
yang diciptakan Tuhan itu hanya hidup. Mati ada di dalam wilayah ciptaan Tuhan.
Demikian pula hidup. Tentu saja yang dimaksud di sini bukanlah “hidup sejati”. Tapi,
hidup di dalam jasad. Jadi, hidup di dalam jasad, dan mati jasad itu ciptaan.
Jasad atau raga
hanyalah pakaian bagi “jiwa”, soul. Jika raga tidak bisa dipakai alias tidak
berfungsi, maka jiwa akan meninggalkannya. Tetapi, jika jiwa hanya sekadar meninggalkan
jasad, belum tentu jasad mengalami kematian. Dalam peristiwa OOBE (Out Of the
Body Experience), jiwa dapat keluar tubuh dan kembali lagi. Tidur nyenyak pun
dapat membuat jiwa ke luar dari tubuh untuk beranjang sana-sini. Hal semacam
ini dijelaskan dalam QS al-Zumar [39]: 42, sebagai berikut.
"Allah yang
memegang jiwa manusia ketika matinya dan di waktu tidur bagi yang belum mati.
Dan, ditahan-Nya jiwa yang telah ditetapkan kematiannya, sedangkan yang belum
mati dilepaskan hingga masa ajal tiba. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat ayat-ayat bagi orang yang berpikir."
Selama garis
kematian belum tiba, jiwa dapat bepergian kesana-kemari. Menurut mistik Timur,
jiwa dan raga ini ada tali pengikat yang disebut benang perak atau silver cord.
Selama benang ini tidak putus, maka orang yang mengalami OOBE tidak akan
tertimpa kematian.
Bila dilihat dari
sudut energi, orang yang mengalami mati itu telah kehilangan energi prana, elan
vital, atau premananya (Jawa). Baik benang perak atau premana tidak perlu
dipertentangkan. Keduanya merupakan elemen kehidupan. Jika salah satunya rusak,
orangnya akan mati. Artinya, bilamana elemen-elemen yang membangun hidup itu
rusak alias tidak berfungsi, jiwa tak akan dapat beroperasi lagi. Jiwa akan
meninggalkan tubuh yang demikian itu.
Kedua, penciptaan
mati dan hidup itu dimaksudkan untuk mendidik dan melatih manusia agar manusia
dapat beramal kebajikan. Jadi, jelas sekali bahwa proses mati-hidup-mati-hidup
di dunia ini dimaksudkan untuk melatih manusia. Dunia ini sekolahan. Dunia
adalah ladang bagi kehidupan berikutnya (Hadis). Siapa yang menanam, ia pula
yang mengetam. Dan, dalam QS 51:56 disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia
itu adalah ma’rifat Allah, mengenal Allah. Untuk apa? Agar manusia dapat
kembali ke asalnya, yaitu kembali kepada Allah.
Seringkali
balasan amal itu dipahami sebagai balasan atau imbalan yang akan diberikan
kepada manusia setelah dibangkitkan dari kuburnya di alam akhirat setelah
hancur-leburnya bumi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan
pernyataan-pernyataan tentang cepatnya perhitungan Tuhan terhadap para
hamban-Nya. Lebih dari 10 ayat yang menyatakan bahwa hisab Tuhan atau
perhitungan amal baik dan buruk manusia itu amat cepat. Kalau hukuman itu
ditangguhkan hingga hari kiamat atau setelah hancurnya alam semesta, maka ada
orang yang sudah jutaan tahun dalam masa menunggu, dan bagi yang hidup
menjelang hancurnya alam semesta malah akan menerimanya lebih cepat. Tentu, hal
ini akan bertentangan dengan kasih sayang Tuhan, sekaligus bertentangan dengan
keadilan-Nya.
Balasan dan
imbalan dari Tuhan terhadap amalan manusia itu amat cepat alias segera. Dan,
perhitungan itu tidak sperti nilai rapor. Apabila nilai rapor sudah
diperhitungkan nilai plus-minusnya, sehingga seseorang tinggal terima jadi,
apakah ia naik kelas atau tinggal kelas; tidak demikian dengan perhitungan
Tuhan. Dalam QS al-Zalzalah [99]:7–8 disebutkan sebagai berikut:
Faman ya‘mal mitsqâla
dzarrah khayran yarâh.
Wa man ya‘mal mitsqâla
dzarrah syarran yarâh.
"Barangsiapa
yang beramal kebajikan sebesar zarah, maka buah amalnya itu akan dilihatnya.
Dan, barangsiapa
berbuat keburukan sebesar zarah, maka balasan amal buruknya itu pun akan
dilihatnya."
Jadi, tidak ada
perhitungan dengan sistem yang dapat mencapai angka 6 atau lebih akan naik
kelas atau akan tinggal di surga, dan yang tidak dapat angka indeks prestasi
itu akan tinggal di neraka. Tidak. Tidak demikian! Bahkan bagi yang beramal
keburukan sekecil debu pun akan merasakan balasannya. Sebaliknya, yang beramal
kebaikan sekecil zarah pun akan merasakannya pula.
Balasan Tuhan itu
amat cepat. Dalam bahasa Arab disebut sarî‘ al-hisâb. Balasan yang cepat
artinya suatu balasan yang dapat diamati di dunia ini. Dan, sistem
perhitungannya pun sebagaimana dikemukakan pada ayat-ayat di Surah al-Zalzalah
tersebut. Itu artinya balasan atau imbalan itu berlangsung di dunia ini.
Caranya melalui kelahiran kembali. Hal ini disebut dalam QS 6:94, bahwa manusia
datang sendiri-sendiri sebagaimana kejadian pada mulanya. Dan, mengenai penciptaan
pada kali yang lain ini akan jelas sekali diterangkan dalam QS 29: 19–21 sebagai
berikut.
"Dan, apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan pada awalnya dan
mengulanginya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah."
"Katakanlah:
“Berjalanlah di bumi, maka gunakan nalarmu untuk memahami bagaimana Allah
menciptakan pada mulanya, kemudian menciptakannya pada kali yang lain.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."
"Allah
mengazab orang yang menghendaki (azab) dan memberikan rahmat kepada yang
menghendakinya. Dan, hanya kepada-Nya kamu dikembali-kan."
Perhatikan dengan
seksama ayat tersebut. Pada ayat yang pertama, isi perintah-Nya adalah
memperhatikan cara Allah menciptakan manusia. Ya, yang perlu diperhatikan
adalah cara Allah menciptakan manusia pada mulanya. Bagaimana? Ternyata,
caranya melalui pertemuan sel telur pada wanita dan sel sperma dari pria.
Kemudian, keduanya bersatu, membelah diri, dan akhirnya tumbuh menjadi janin di
dalam perut ibu. Lalu, lahir ke bumi sesuai dengan garis nasibnya. Ada yang
dilahirkan di tengah orang berada, dan ada yang dilahirkan melalui keluarga
papa.
Setelah paham
tentang penciptaan pada pertamanya, maka kita diminta memperhatikan caranya
Allah mengulangi penciptaan itu. Kita diperintah untuk memperhatikan pada
penciptaan ulangan, agar kita ngeh, kita paham benar-benar bagaimana proses
penciptaan manusia.
Ayat yang kedua,
memerintah kita untuk menjelajah bumi ini. Kita diperintah untuk melakukan
study tour, atau widya wisata. Untuk apa? Untuk mengerti tentang bagaimana
Allah menciptakan pada mulanya, dan menciptakan pada kali lainnya. Coba
renungkan dalam-dalam! Seandainya penciptaan pada kali lain itu terjadi setelah
dunia ini hancur lebur, ya akan menjadi perintah yang salah. Mengapa? Karena
penyelidikan penciptaan itu cukup di bumi ini, baik penciptaan pada mulanya
maupun pada kali yang lain. Itu artinya kebangkitan itu di bumi ini. Yaitu,
berupa kelahiran kembali. Ya, lahir kembali adalah penciptaan pada kali yang
lain. Kalau bumi sudah hancur, maka kita tidak akan dapat melakukan studi
tentang kebangkitan. Kita tidak dapat memperoleh pemahaman tentang itu.
Nah, pada
penciptaan kali yang lain itulah seorang manusia yang dilahirkan menerima azab
atau mendapat rahmat. Azab atau rahmat yang diterimanya itu berdasarkan
kehendak orang yang dilahirkan kembali. Jadi, bukan karena kehendak Tuhan.
Mengapa? Karena Tuhan sama sekali tidak merugikan hamba-Nya. Dalam QS 3:117
disebutkan bahwa Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka yang menganiaya
diri mereka sendiri. Sedangkan dalam QS 10:44 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya
Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, akan tetapi manusia sendiri yang
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
Jelas sudah,
bahwa bukan Allah yang menghendaki azab bagi manusia. Allah hanyalah
menjalankan roda hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Sedangkan manusia itu
sendiri adalah bagian dari hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Karena hukum
alam berjalan di bawah kehendak Tuhan, maka seakan-akan pahala dan balasan itu
atas Kehendak-Nya. Sayang sekali, dalam berbagai terjemahan, kata man yasyâ’
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Allah menghendaki. Tentu saja
terjemahan demikian melanggar pernyataan Allah bahwa Dia tidak merugikan
manusia sedikit pun.
Apabila kita
memahami bahwa Allah tidak merugikan manusia sedikit pun, lalu siapa yang
membuat ada yang bernasib baik, dan ada yang bernasib buruk? Lalu, mengapa ada
orang yang mulus hidupnya dan ada yang tidak luput dari bencana? Apa ada garis
tangan seseorang?
Jawabnya, semua
itu akibat ulah dan perbuatan orang yang tertimpa bencana itu sendiri. Kalau
seseorang bernasib baik maka itu akibat amal kebajikan orang itu sendiri.
Amalan kapan? Yaitu, amal baik dan buruk yang pernah dikerjakan pada kehidupan
yang lampau. Jadi, takdir baik dan buruk itu digoreskan oleh seseorang pada
masa lampaunya. Jika takdir baik dan buruk itu ditetapkan oleh Tuhan di zaman
azali, maka itu artinya Tuhan telah berbuat zalim bagi sebagian hamba-Nya. Jika
sudah demikian, berarti Tuhan telah pilih kasih terhadap hamba-Nya. Padahal,
Tuhan tidak merugikan sedikit pun kepada manusia. Maka, jelas Tuhan tidak
menetapkan takdir sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam
hingga sekarang ini. Maka, kita sekarang ini bukanlah kita yang baru dicipta.
Tapi, kita sekarang ini adalah manusia yang telah lahir beberapa kali, bahkan
ratusan atau bahkan ribuan kali.
Mengenai petaka
atau bencana yang menimpa manusia di bumi ini, dapat dirujuk pada ayat-ayat
berikut. Perhatikan dengan seksama dua ayat di bawah ini.
"Dan,
musibah apa pun yang menimpamu, maka itu disebabkan oleh tindakanmu sendiri,
dan Allah mengampuni sebagian besar kesalahanmu."
"Dan, kalian
tidak dapat melepaskan diri dari bumi ini. Bagimu, tiada pelindung dan penolong
selain Allah." (QS 42: 30-31)
Apa saja jenis
musibah atau bencana yang menimpa seseorang, ternyata itu akibat perbuatan
tangannya sendiri. Bukan oleh orang lain. Bukan oleh Tuhan. Bukan oleh setan
dan jin. Ternyata semua itu disebabkan oleh ulah yang tertimpa musibah itu.
Termasuk kalau ada bayi yang dilahirkan cacat. Itu disebabkan oleh perbuatan
jiwa si bayi tersebut.
Banyak orang yang
tidak memahami tentang kelahiran kembali. Atau, reinkarnasi. Sehingga, kalau
ada bayi cacat maka itu dianggap oleh kondisi kesehatan orangtuanya. Misalnya,
ada kerusakan genetis. Penyakit dalam kandungan. Oleh sebab-sebab lain. Atau,
karena dalam peperangan si bayi terkena peluru nyasar sehingga meski
terselamatkan ia kehilangan anggota badannya. Umumnya orang tidak mengerti
bahwa itu disebabkan oleh hutang-piutang karma atau perbuatan.
Memang, ada
proses karma. Pertama si orangtua mempunyai karma negatif, atau karma buruk.
Sehingga ketika dia mengandung, janin yang dikandungnya itu cacat. Jadi, yang
cacat itu raga si bayi. Sedangkan raga itu sendiri ya tidak ada maknanya. Nah,
ketika raga bayi itu cacat, maka jiwa yang dimasukkan ke dalam raga yang cacat
itu adalah jiwa yang hutang karma. Jiwa yang pada kehidupan masa lalunya banyak
berbuat keburukan. Dus, bayi yang dilahirkan cacat itu merupakan kaitan karma
orangtua dan bayi tersebut. Sama-sama punya karma buruk pada kehidupan masa
lalunya. Meskipun hal ini tidak berarti ada kaitan karma buruk antara orangtua
dan si bayi pada kehidupan lalunya.
Kembali kepada
ayat di atas. Disebutkan bahwa Tuhan mengampuni sebagian besar kesalahan manusia.
Apa kaitannya dengan reinkarnasi? Jika Tuhan tidak mengampuni sebagian besar
kesalahan manusia, maka manusia tidak akan mengalami kemajuan dalam hidupnya.
Bayangkan, jika hutang seratus unit harus dibayar 100 unit; apa yang terjadi?
Tak ada perubahan di dalam kehidupan manusia. Tuhan itu Maha Pemaaf. Sehingga,
Tuhan tak akan mewujudkan balasan lebih daripada keburukan yang pernah dibuat
hamba-Nya. Tuhan bukanlah tukang balas. Namun, kita pun harus paham bahwa
mekanisme sebab-akibat itu merupakan ketetapan-Nya.
Dalam bahasa
agama, cara kerja alam raya dalam kaitannya dengan sebab dan akibat disebut
pemberian pahala untuk kebaikan dan pembalasan atau azab bagi kejahatan. Karena
rahman dan rahim-Nya, kebaikan akan mendatangkan kebaikan berlipat ganda, tapi
keburukan hanya mengakibat-kan keburukan yang setara atau kurang. Dalam bahasa
psikologis alam raya itu bersifat memaafkan. Hal semacam inilah yang disebut
dalam Alquran sebagai kebajikan Tuhan. Dia memaafkan sebagian besar kesalahan
yang pernah dilakukan manusia.
Pada QS 42: 31,
terdapat peringatan dari Tuhan. Apa isinya? Secara normal, manusia tidak akan
dapat meninggalkan bumi ini. Salah satu unsur pembentuk fisik manusia adalah
bumi. Maka, secara alami manusia tertarik oleh keindahan bumi. Dan, gaya tarik
bumi terhadap unsur-unsur fisik manusia, yaitu bumi, air, api dan udara, sangat
kuat. Sehingga manusia cenderung untuk kembali hidup di bumi. Hal semacam ini
dikabarkan dalam QS 7:25, bahwa manusia dihidupkan oleh Tuhan di bumi,
dimatikan di bumi dan dibangkitkan di bumi juga.
Dus, jikalau
manusia hanya mengikuti hukum alam, tidak ada aksi dari manusianya sendiri
untuk melepaskan diri dari bumi, maka selamanya ia akan tinggal di bumi.
Sehingga, kenikmatan surga pun sebatas kenikmatan yang tersedia di bumi ini.
Maka, pada penutup ayat 31 disebutkan bahwa bagi manusia tak ada pelindung dan
penolongnya selain Allah. Dengan kata lain, pelindung dan penolong manusia itu
hanyalah Allah!
Kata “Allah”
dalam Alquran adalah sebutan bagi Tuhan semesta alam. Maka, bagi yang bukan
orang Islam tidak perlu rancu terhadap sebeutan Tuhan. Bahkan di Alquran
sendiri Tuhan dapat disebut berdasarkan Nama-nama baik-Nya (QS 17: 110). Bagi
khazanah “New Age”, Tuhan disebut sebagai “Sang Maha Diri”, the Absolute
Reality atau Absolute Self. Sedang-kan diri manusia ya “sang diri” atau diri
sejati saja. Maka, tujuan hidup manusia adalah kembalinya “sang diri” kepada
“Sang Maha Diri”.
Perjalanan sang
diri kepada Tuhannya dalam hitungan waktu fisik amatlah panjang. Manusia yang
sudah terkungkung oleh ruang-waktu, harus menempuhnya dalam hitungan jutaan
tahun bumi. Jika satu generasi perlu hadir selama 50–100 tahun, maka perlu
puluhan hingga ribuan kali manusia dapat menyempurnakan dirinya. Dengan kata
lain, untuk dapat kembali ke alam kelanggengan atau paling tidak keluar dari
bumi manusia perlu dilahir-kan berkali-kali. Manusia perlu mengikuti
kala-cakra, atau putaran roda kehidupan di bumi.
Untuk kembali
kepada-Nya, ya hanya dengan cara berlindung kepda-Nya semata. Jika kita masih
berlindung kepada yang lain, kepada selain-Nya yang notabene hamba-Nya, maka
kita pasti menderita di bumi ini. Makanya, semua agama yang ada memerintahkan
manusia untuk berlindung dan mohon pertolongan kepada-Nya semata. Inilah yang
disebut tauhid dalam agama Islam. Meng-Esa-kan Tuhan.
Musibah atau
bencana di bumi sebenarnya merupakan pelajaran agar manusia dapat menyadari
kesalahannya dan kembali kepada jalan Tuhan. Namanya saja kembali kepada-Nya,
maka jalan yang harus ditempuh pun jalan-Nya yang disebut shirâth al-mustaqîm,
jalan lurus. Yaitu, jalan untuk hamemayu hayuning bawana dan tidak menghambakan
diri kepada yang selain-Nya.
Perhatikan QS
al-Rûm [30]: 41 – 45 sebagai berikut.
"Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia. Allah bermaksud
untuk membuat mereka itu merasakan sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka
dapat kembali (kepada jalan-Nya)."
"Katakanlah:
“Lakukan perjalanan di bumi dan perhatikan bagaimana akibat perbuatan
orang-orang sebelummu. Sebagian besar mereka itu merupakan orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.”
"Oleh karena
itu, hadapkanlah dirimu kepada agama yang lurus sebelum datangnya hari dari
Allah yang tidak dapat ditolak. Pada hari itu mereka terpisah-pisah."
"Barangsiapa
yang kafir maka ia sendiri yang menanggung kekafirannya, dan bagi yang beramal
saleh maka buah kebaikannya untuk dirinya sendiri."
"Allah
melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang mengingkari-Nya."
Pertama, ketika
ayat ini diturunkan, daratan dan laut telah mengalami kerusakan. Apalagi
sekarang! Dan, dinyatakan dengan tegas bahwa kerusa-kan itu akibat perbuatan
manusia. Bukan disebabkan oleh perilaku hewan. Artinya, potensi kerusakan itu
berasal dari manusia. Ya, akibat ulah manusia rusaklah daratan dan laut.
Ternyata, kerusakan di darat dan laut itu dibiarkan oleh Allah agar manusia
(yang melakukan kerusakan itu) merasakan seba-gian dari akibat perbuatannya.
Untuk apa? Agar yang pernah melakukan kerusakan itu mendapat pelajaran untuk
kembali kepada jalan yang benar. Ya, kembali kepada jalan-Nya.
Jadi, yang
merasakan akibat perbuatannya itu ya yang pernah hidup pada masa lampau dan
berbuat kerusakan. Bukan orang yang pertama kali dilahirkan di bumi ini.
Bukankah Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun?
Tidak mungkin manusia yang tidak berbuat kesalahan dikenakan azab. Dan, karena
kasih-sayang Tuhan pula manusia yang dihidupkan lagi itu merasakan sebagian
saja dari akibat perbuatannya. Manusia tidak merasakan seluruh akibat perbuatan
buruknya. Hal semacam inilah yang disebutkan pada ayat lain bahwa Tuhan itu
memaafkan sebagian besar kesalahan manusia.
Kedua, lagi-lagi
kita diperintah Tuhan untuk melakukan perjalanan di muka bumi ini. Tapi, pada
ayat ini kita diperintah untuk memperhatikan akibat perbuatan buruk orang-orang
yang hidup pada masa lalu. Apa kata ayat tersebut? Banyaknya kerusakan di darat
dan laut itu ternyata dilakukan oleh orang-orang musyrik. Orang-orang yang
menyekutukan Tuhan. Dus, orang yang menyekutukan Tuhan itu adalah orang yang
membuat kerusakan di bumi ini. Jelas kan, bahwa mereka bukanlah orang yang
beribadah di depan patung?
Jelas, bahwa
kemusyrikan itu lebih terkait dengan amal perbuatan manusia. Jika amalan itu
merusak bumi, maka itu tindakan syirik. Jika perusakan bumi itu merupakan
perilaku seseorang, maka orang itu disebut sebagai orang musyrik alias
menyekutukan Tuhan. Agar tidak terjerumus ke jurang kemusyrikan manusia
diperintah untuk menghadapkan dirinya kepada agama, jalan hidup, yang lurus.
Yaitu, jalan hidup yang tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain
dan dirinya sendiri. Jalan hidup yang demikian inilah yang disebut “islam”
(sebagai generik). Dalam kehidupan aktual, islam yang generik ini bisa disebut
Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lainnya.
Ketiga, manusia
harus berusaha berada di jalan yang lurus. Di tempat lain disebut sebagai orang
yang bertakwa. Usaha ini harus ditempuh sebelum datangnya hari dari Allah yang
disebut sebagai “hari yang tidak dapat ditolak”. Hari apa gerangan? Itulah hari
kematian dan sekaligus kebangkitan seseorang. Karena dalam satu hari orang yang
mati itu banyak, maka yang dibangkitkan pun banyak. Di mana dibangkitkan? Ya,
di bumi ini! Lihat kembali QS 7:25.
Manusia
dibangkitkan melalui kelahiran melalui ibunya sendiri-sendiri. Dalam ayat mereka
disebut menjadi terpisah-pisah. Dan, disebutkan pada ayat berikutnya bahwa
mereka yang kafir ya akan menanggung perbuatan kekafirannya. Yaitu, dilahirkan
sebagai manusia yang sengsara. Sedangkan yang dahulunya berbuat amal saleh, ya
akan dilahirkan di tempat yang penuh anugerah Tuhan.
Nah, sekarang
perhatikan kata musyrik dan kafir. Identik kan? Kalau yang dirujuk itu sikap
hidup, maka namanya musyrik. Tapi, kalau yang dirujuk itu keyakinan dan
tindakannya yang mengingkari kebenaran, maka namanya kafir. Jadi, kafir itu tak
ada kaitannya dengan agama yang dipeluk. Agama apa saja yang dipeluknya, kalau
ia mengingkari kebenaran atau melakukan kerusakan maka ia termasuk orang kafir!
Keempat, Allah
tidak mencintai orang-orang yang ingkar. Perhatikan pernyataan “tidak
mencintai”, lâ yuhibbu! Ini tidak dapat diterjemahkan menjadi tidak menyukai.
Berbeda! Allah tidak terlibat dalam suka dan tidak suka. Allah juga tidak
terlibat dalam soal membenci atau tidak membenci. Allah itu bersifat mahabbah,
mencintai hamba-Nya. Tetapi, kalau si hamba itu mengingkari-Nya, maka Dia tidak
mencintainya.
Apa bedanya
“tidak mencintainya” dengan “membenci”? Benci adalah perasaan tidak suka. Jadi,
kalau Tuhan membenci berarti dalam diri Tuhan itu terkandung perasaan tidak
suka. Ini tentu saja berlawanan dengan sifat-Nya yang rahman dan rahim. Jelas,
tidak mungkin terjadi sifat yang saling berlawanan pada dirinya. Sifat Tuhan
adalah Cinta. Maka, karena itu para ahli tasawuf menyebut Tuhan itu sendiri
Cinta.
Cinta itu bukan
suka! Cinta mengandung makna karunia. Artinya, sesuatu yang dicintai niscaya
mendapat perhatian atau karunia dari yang mencintai. Jadi, kalau Tuhan
mencintai seorang hamba, maka hamba itu akan mendapatkan cucuran rahmat dan
karunia dari-Nya. Misalnya, sang hamba yang dicintai Tuhan itu akan mendapatkan
perlindungan, pertolongan dan kenikmatan. Lha, kalau Tuhan “tidak mencintai”
orang kafir, maka Dia membiarkan si kafir itu menerima akibat perbuatan-Nya.
Nah, apa yang
diharapkan manusia? Tentu saja, rahmat-Nya. Kalau belum dapat melepaskan diri
dari bumi ya perlindungan dan kenikmatan hidup di bumi. Dengan perlindungan-Nya
itu seorang manusia dapat terus-menerus berusaha di jalan yang benar.
Dalil-dalil
Reinkarnasi
Umat Islam merasa
bahwa reinkarnasi itu tidak diajarkan dalam Islam. Bahkan pandangan tentang
reinkarnasi dianggap bid’ah. Atau, pandangan sesat. Hal ini dapat dimengerti,
karena reinkarnasi tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam Alquran. Untuk
dapat memahaminya kita harus benar-benar serius dalam menelaah ayat-ayat
Alquran maupun Hadis.
Mengapa
reinkarnasi di dalam Alquran tidak dijelaskan secara eksplisit dalam satu topik
tersendiri? Karena, Alquran diwahyukan kepada Nabi sesuai dengan budaya Arab
yang ada pada waktu itu. Dalam budaya Arab, kehidupan di akhirat saja diangap
aneh. Kalau toh ada orang-orang Quraisy yang menerima pandangan tentang
akhirat, sebenarnya itu merupakan pengaruh agama Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Apa pandangan
asli Arab tentang hidup sesudah mati? Tidak ada! Orang Arab pra-Islam
berpandangan bahwa hidup ini hanya sekali saja. Hal ini direkam di beberapa
ayat Alquran. Marilah kita baca dengan seksama rekaman Alquran terhadap
kepercayaan orang-orang Arab pra-Islam.
6:29 – Dan, tentu
mereka akan mengatakan: “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita
sekali-kali tidak akan dibangkitkan.”
23: 35-37 –
“Apakah dia menjanjikan kepada kamu sekalian bahwa bila kamu telah mati, telah
menjadi tanah dan tulang-belulang, kamu akan dikeluarkan? Jauh, jauh sekali
(dari kebenaran), apa yang diancamkan kepadamu. Kehidupam kita itu tidak lain
hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup, dan sekali-kali
tidak akan dibangkitkan lagi.”
34:7 – “Dan
orang-orang kafir berkata: ‘Maukah kamu kami tunjukkan seorang lelaki yang
memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur, sesungguhnya kamu
benar-benar akan dibangkitkan dalam ciptaan baru?’”
44:35 – “Tidak
ada kematian selain kematian kami yang pertama. Dan kami sekali-kali tidak
dibangkitkan.”
Ayat-ayat
tersebut sudah jelas menggambarkan kepercayaan yang ada pada masyarakat Arab.
Mereka itu tidak percaya bahwa kehidupan itu tidak berakhir dengan kematian.
Mereka meyakini bahwa kehidupan ini sekali saja, dan kematian merupakan akhir
bagi segalanya. Makanya, mereka itu hedonistis. Mereka itu hanya berusaha
mencari kesenangan duniawi semata. Mereka tidak peduli bahwa kesenangan yang
diusahakan itu merugikan orang lain atau tidak.
Mereka kaget luar
biasa ketika Nabi Muhammad mengajarkan tentang kehidupan setelah kematian. Baru
dinyatakan ada kehidupan baru sebagai ciptaan baru setelah mati, mereka itu
sudah menolak. Apalagi kalau mereka itu dijelaskan secara gamblang bahwa
kehidupan itu bisa berlanjut berkali-kali, mungkin nggak percayanya itu
kuadrat.
Reinkarnasi itu
ayat mutasyabihat. Ya, kelahiran kembali itu diungkapkan dalam Alquran secara
tersamar. Ayat-ayatnya harus dipikirkan dan direnungkan dalam-dalam. Kalau
tidak dipikirkan masak-masak, pasti akan terjerumus pada penerjemahan atau
penafsiran yang menyimpang.Ayatnya tidak disampaikan secara berurutan atau
sering diselipkan di berbagai topik kehidupan. Makanya, kalau kita tidak jeli
membacanya akan kecele.
16:70 – “Allah
menciptakan kamu. Kemudian, Allah mewafatkan kamu (mengakhiri hidupmu di bumi
ini), dan di antara kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling lemah,
agar dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya.
Sesunggunya Allah Maha Menge-tahui dan Mahakuasa.”
16:77 – “Dan
kepunyaan Allahlah segala yang gaib di langit maupun di bumi. Dan, tidaklah
perintah kebangkitan itu selain sekejap mata atau lebih cepat. Sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
16:78 – “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun. Dan, Dia memberimu pendengaran, peng-lihatan dan fuad agar kamu dapat
bersyukur.”
Pertama, pada
umumnya orang yang hidup di bumi ini berakhir dengan kematian. Tentu saja, ada
yang benar-benar telah wafat, alias telah sempurna hidupnya, sehingga tidak
dilahirkan kembali di bumi ini. Tapi, kebanyakan manusia itu dilahirkan
kembali. Dalam bahasa ayat di atas dinyatakan sebagai “dikembalikan pada umur
yang paling lemah”. Umumnya, kalimat ardzal al-‘umur pada ayat tersebut
diartikan “tua-renta”. Sedangkan kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun yang
pernah diketahuinya” diartikan dengan “pikun” atau pelupa karena sudah tua
sekali.
Penerjemah
biasanya tidak memahami bahasa Indonesia dengan benar. Mereka tidak menyadari
bahwa “tua-renta” itu belum tentu lemah. Banyak orang di Indonesia ini yang
umurnya sudah 80 tahun masih tampak lebih segar daripada yang berumur 40 tahun.
Beberapa negarawan kita sudah berumur lebih dari 80 tahun, tapi masih berbicara
tentang politik dan situasi negara kita dewasa ini secara kritis. Maka, jelas
kalimat “dikembalikan pada umur yang paling lemah” itu tidak berarti tua-renta
atau lanjut usia.
Kedua, kalimat
“tidak mengetahui sesuatu pun apa yang pernah dike-tahui sebelumnya” diartikan
dengan “pikun”. Ini salah besar! Orang pikun itu pelupa. Mudah lupa terhadap
apa yang diketahui atau dikerjakannya. Tapi, pikun itu masih ada yang diingat.
Bukan tidak ingat sama sekali apa yang pernah diketahui, atau lost memory. Dan,
pikun itu sifat yang ada pada orang tua yang telah lanjut usia di mana saja.
Namun, tidak setiap orang yang lanjut usia itu pikun. Jadi, tidak mungkin
bangsa Arab tidak punya khazanah untuk kata pikun. Dalam bahasa Arab, pikun itu
mukharraf.
Jadi, kondisi
tua-renta dan pikun itu tidak merupakan pemetaan satu-satu. Artinya, ada orang
yang tua-renta tidak pikun, dan ada orang pikun yang masih muda usianya.
Makanya, harus kita cari ayat-ayat yang menya-takan “tidak tahu sesuatu pun apa
yang pernah diketahuinya” itu dalam kaitan yang lain. Ternyata, pada ayat 78
disebutkan bahwa kalimat tersebut terkait dengan pernyataan “dikeluarkan dari
perut ibumu”. Artinya, “tidak tahu sesuatu pun” itu dimiliki oleh bayi yang
baru dilahirkan. Dan, di ayat sebelumnya dijelaskan bahwa kondisi ini disebut
kebangkitan! Dus, kebangkitan seseorang itu ada di bumi ini, yaitu keluar dari
perut ibu.
Ya…, kebangkitan
adalah kelahiran. Dan, ini cocok dengan makna bangkit itu sendiri. Yaitu,
bangkit sebagai manusia kembali. Dengan adanya kebangkitan atau kelahiran itu,
maka orang yang telah mati, dan tulang-belulangnya telah hancur, akan hidup
kembali sebagai ciptaan yang baru yang disangkal oleh orang-orang Arab
pra-Islam.
Maka, kiamat
dalam pengertian kita selama ini sebenarnya kelahiran kembali. Inilah yang
disebut reinkarnasi. Dan, kehidupan dunia yang kita alami saat ini adalah
akhirat bagi kehidupan masa lalu. Siksa dan pahala yang dialami saat ini
merupakan buah perbuatan pada kehidupan masa lalu. Namun Tuhan itu rahman dan
rahim, sehingga manusia dapat melanjutkan perjalanannya untuk kembali
kepada-Nya.
Jika pada kedua
ayat tersebut masih samar-samar dan memerlukan kejelian dalam membacanya, maka
pada Surah Yâ Sîn [36]: 68 yang biasa dibaca oleh orang Islam pada berbagai
kesempatan, hal reinkarnasi itu lebih jelas lagi. Bunyi terjemahan ayatnya,
“Dan barangsiapa yang Kami panja-ngkan hidupnya niscaya Kami kembalikan pada
kejadiannya. Apakah mereka itu tidak memikirkannya?”
Perhatikan!
Pemanjangan hidupnya di bumi ini niscaya diikuti dengan kembalinya pada
kejadiannya. Yaitu, dilahirkan sebagai bayi! Tapi, meski sudah terang-benderang
maknanya, hampir penerjemah Alquran standar memberikan catatan kaki bahwa itu
dikembalikan menjadi lemah dan kurang akal. Jelas, ini orang yang ngawur! Mana
ada panjang umur selalu diikuti dengan lemah dan kurang akal? Sepikun-pikunnya
atau kurang akalnya orang tua, masih lebih cerdas daripada bayi. Sebagaimana
sudah dijelaskan bahwa orang yang telah lanjut usianya belum tentu pikun. Beberapa
kepala negara malah masih aktif memimpin, meski umurnya sudah di atas 80 tahun.
Tetapi, banyak orang yang baru berusia 60 tahun sudah menunjukkan gejala
kepikunan.
Apa arti
dikembalikan pada “kejadian”. Bukankah kejadian manusia itu berawal dari seorang
bayi? Bagaimana mungkin mereka memahami kejadian sebagi lemah dan kurang akal?
Rupanya, mereka itu perlu dididik biologi, agar mereka memahami arti kejadian
manusia hingga wafatnya. Mereka perlu diajari membaca kamus dan struktur
kalimat bahasa Indonesia. Untuk apa? Agar kalau ada kalimat “tidak mengetahui
sesuatu pun” tidak diterjemahkan pikun. Bahasa untuk pikun itu ada di setiap
bangsa. Karena, pikun merupakan fenomena yang menimpa orang tua atau lanjut
usia.
Bahkan karena
sesuatu gangguan, ada orang-orang yang kehilangan ingatan terhadap apa yang
pernah diketahuinya. Mereka ini tidak terkait dengan batasan usia. Tapi, hal
ini disebabkan oleh gangguan pada saraf otaknya. Ini kasus! Sehingga, hal
semacam ini tidak dimasukkan dalam ayat. Maka, kalimat “tidak mengetahui
sesuatu pun” harus dicarikan kaitannya pada ayat yang lain. Ini yang namanya
menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lainnya. Inilah penafsiran yang
paling valid!
Kemudian, kalau
kita melihat Surah Yâ Sîn di atas, ayat 68 itu ditutup dengan kalimat “apakah
mereka tidak memikirkan”. Kalau kita dalam hidup sehari-hari ini menjumpai
sesuatu yang lazim, maka kita tak perlu memikirkan maknanya. Kita baru
memikirkan sesuatu jika kita ingin mengetahui makna di balik kejadian yang
tampak itu.
Reinkarnasi dalam
Hadis. Selain ayat-ayat Alquran, indikasi adanya reinkarnasi itu dapat kita
temukan dalam beberapa Hadis. Di bawah ini saya cuplikkan beberapa Hadis yang
ada kaitannya dengan reinkarnasi.
“Demi Tuhan yang
jiwaku dalam genggaman-Nya, seandainya seseorang gugur di jalan Allah, kemudian
dihidupkan lagi lalu gugur lagi, kemudian dihidupkan lagi lalu gugur lagi,
niscaya ia tidak dapat masuk surga sebelum melunasi hutangnya.” (H.R. Nasai)
“Orang yang
berhutang itu dibelenggu dalam kuburnya, tiada yang dapat melepaskannya selain
ia membayar hutangnya.” (H.R. Dailami)
“Sesungguhnya di
antara dosa-dosa ada yang tidak dapat ditutupi oleh salat, puasa, haji dan
umrah. Yang dapat menutupinya hanyalah duka-cita (kesulitan) dalam hidup
mencari rezeki.” (H.R. Ibnu Asakir)
Pertama, meskipun
gugur berkali-kali tapi bilamana belum melunasi hutangnya, ia tak akan masuk
surga. Perhatikan, kata gugur berkali-kali dan hutang. Secara sederhana umat
Islam menerjemahkan hutang itu dalam arti hutang harta-benda. Tidak sepenuhnya
benar! Yang jelas, hutang harta-benda itu bagian dari hutang perbuatan (karma).
Dan lagi, pada
kalimat di atas tidak dinyatakan “kecuali jika ada hutang, keluarganya
melunasinya”. Kalimat ini tidak ada. Yang ada, justru menegaskan bahwa yang
gugur itulah yang melunasinya. Jadi, hutang itu tidak dapat dilunasi orang
lain. Seseorang tidak menanggung beban atau dosa orang lain. Setiap orang akan
menanggung dosanya sendiri. Itulah yang dijelaskan di berbagai ayat Alquran.
Kedua, hidup susah
dalam mencari rezeki adalah cara untuk menutupi dosa-dosa. Coba, dosa darimana?
Kalau hidup sekarang ini merupakan hidup yang pertama kali, maka tidak adil
kiranya bila ada orang yang dilahirkan menderita di kolong jembatan. Padahal,
Tuhan sudah menyatakan dengan tegas bahwa Dia tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.
Bayak sekali di
dunia ini orang yang hidupnya menderita semenjak dilahirkan di bumi ini.
Menurut Hadis di atas, penderitaan itu sebenarnya untuk menutupi dosa-dosanya.
Dan, dosa-dosa itu sendiri tidak dapat ditutupi oleh ibadah formal. Dosa yang
tidak bisa dihapus dengan cara salat, puasa, umrah dan haji. Ini tentu saja
dosa yang berat. Sehingga perbuatan ibadahnya pun tak bisa menghapusnya.
Dosanya hanya hapus bila dia dilahirkan kembali di bumi ini sebagai orang yang
hidup menderita!
Oleh : Achmad
Chodjim
Referensi :
Akademi Makrifat